SI BORU DEAK PARUJAR
Cerpen Medan Bisnis, 1 Juli 2012 � oleh Jhon Fawer Siahaan
Berabad sudah kau meninggalkan Boru Deak Parujar tanpa kau memikirkan penderitaannya. Engkau sibuk selalu dengan urusanmu tanpa memikirkannya, Kini Deak Parujar hanya bisa menangis, sambil menunggu kehadiranmu. Dia begitu setia menanti kedatanganmu, jawabannya selalu, engkau akan datang untuk menjemputnya.
BERULANG kali Leang-leang Mandi mengingatkanmu supaya engkau tak menungunya. Tetapi engkau masih tetap saja begitu yakin akan kedatangannya, sembari asyik dengan aktivitasmu memintal benang untuk baju Naga Padoha. Meskipun kau selalu sedih tapi kau tak pernah menunjukkan kesedihanmu engkau hanya terdiam saja.
Beribu-ribu tahun sudah kau memintal benang hanya untuk menunjukkan kesetiaanmu. Jika kelak Padoha datang kau akan menyematkan pakaian yang kau pintal selama ini, air matamu bercucur keras dalam penantianmu. Air matamu kini cukup mewarnai Danau Toba yang begitu indah. Berkat bekal keyakinanmulah hingga engkau tak sekalipun berniat untuk meninggalkan Padoha.
Tetapi bukan hanya itu mungkin yang kau sedihkan karena aku melihat di dalam kerut keningmu seolah ada yang kau sembunyikan. Aku hanya menangkap bahwa ada yang lebih besar lagi yang kau pikirkan. Mungkin aku hanya bisa menebak apa yang kamu pikirkan selama ini. Apakah engkau begitu sedih melihat kolam pemandiaanmu yang begitu keruh, Danau yang begitu kau sucikan kini telah kotor. Bambu-bambu yang kau tanam dan pohon-pohon yang begitu rindang tempatmu berteduh dulu, kini tak ada lagi kini telah habis dibabat. Tempatmu berteduh pun tak ada lagi. Angin begitu berhembus kencang hingga rambutmu tak pernah beraturan lagi, sebab angin itu terlalu mengganggumu.
Engkau cukup lelah sebenarnya sembari merapikan benang pintalanmu yang kadang berhamburan hingga rambutmu pun kini tak sempat kau urus lagi. Mungkin saja engkau ingin mandi di Danau Toba kebanggaanmu dulu, tapi engkau kini tak niat lagi karena begitu jorok. Bisa saja itu yang membuat rambutmu makin tak terurus.
Kadang aku ingin berbuat sesuatu untuk mengurangi bebanmu. Selama ini untuk membersihakan kolam pemandiaanmu dan membuat tanaman rindang sebagai tempatmu berteduh sembari tempat duduk untukmu agar engaku bisa tersenyum memintal benang dan memandangi kolam pemandianmu. Bukan hanya itu saja, engkau akan melihat ikan mas berkeliaran kesana kemari, sembari pora-pora ikut mengikuti geliat ikan mas, seolah tidak ada perbedaan di antara mereka. Mereka begitu akur jalan bersama dengan tawa riang dan tersenyum melihat engkau.
Tetapi kini telah jauh berbeda. Aku tak melihat lagi kebersamaan di antara ikan itu, Mereka dikerangkeng hingga tak bisa bersatu dengan yang lain. Pora-pora kini terkucilkan. Tak ada lagi yang mempedulikannya. Badannya yang dulu gemuk dengan asupan gizi yang baik, kini telah kurus kering, akibat limbah-limbah berminyak itu. Lebih baik aku mati saja, mungkin itulah pikiran ikan pora-pora itu, sekarang karena makin hari limbah itu makin menyesatkannya. Dia tak bisa lagi tertawa, sedih ketika mereka tak bisa bermain bersama lagi.
Bukan hanya itu, ikan mas yang dulu sudah jauh berbeda mungkin sekarang cukup sombong hingga tak mau bertegur sapa dengan pora-pora yang berkeliaran di sampingnya.
Bisa saja mungkin karena ikan mas yang kini berada di tempat pemandianmu bukan lagi ikan yang dulu. Mereka didatangkan dari negeri seberang sehingga mereka tak mampu berkata-kata dengan pora-pora yang selalu tersenyum kepadanya. Bukan hanya itu, kini mereka saling memakan tanpa memikirkan siapa dia siapa aku.
Aku juga telah melihat itu. Aku cukup sedih dengan itu, tetapi aku tak mampu berbuat apa-apa. Raksasa-raksasa besar yang melebihi tenagaku lebih cepat mengotori kolam pemandianmu. Pohon-pohon yang kutanam lebih dulu mereka tebang hingga tak ada yang bersisa. Kerangkeng-kerangkeng yang dibuat untuk mengurung ikan peliharaanmu, cukup banyak. Bertebaran dengan jala-jala yang begitu kuat, hingga ikan mas yang dulu menari-nari kini tak bisa lagi, Kini mereka hanya menunggu ajal saja kapan mereka diasingkan.
Boru Deak Parujar, yang kau sedihkan selama ini, karena begitu banyak pomparanmu yang sekarang tersebar di mana-mana, yang dulu hidup bergandengan bersama-sama seperti pora-pora dan ikan mas yang selalu bersama-sama dalam baik dan duka, telah menciptakan perbedaan. Perbedaan itu yang selalu diceritakan hingga tak satu pun di antara mereka yang mengalah. Seolah kini pomparanmu tak ada lagi yang peduli dengan pemandianmu. Mereka kini berebut. Padahal setahuku itu adalah milik bersama, bukan hanya milik yang tinggal di sana. Karena tanah-tanah itu telah diperjualbelikan, Bona Pasogit itu pun kini tak dihargai lagi.
Beribu-ribu tahun kau masih tetap memintal. Tak pernah berhenti, meskipun kau selalu dalam kesedihan. Sudah berapa banyakkah sekarang yang kau pintal? Karena pintalanmu bukan hanya untuk Padoha yang kau nantikan itu, tapi untuk pomparanmu supaya suatu saat kau bisa memakaikan itu untuk mereka. Supaya jelaslah di antara pomparanmu itu tidak ada yang berbeda. Mungkin dengan itulah engkau bisa tersenyum. Untuk melihat kebersamaan mereka. Dengan sebuah harapan, agar mereka bersama-sama menyucikan kembali kolam pemandianmu itu dan membuat tempat berteduhmu di bawah Hariara Nabolon. Jika panas terik, matahari menerpamu, engkau bisa berteduh sambil terus memintal ulos itu.
Komentar
Posting Komentar