Saya, Tiga Puluh Tahun Lalu [3]
AGAKsulit ternyata menulis soal catatan masa lalu dalam sebuah catatan yang rapi dan enak dibaca, aku kurang sekali bisa mengingat dengan baik semisal ada dialog didalam, biar cerita benar benar kuat. Ini adalah upaya melawan lupa, sekecil apapun itu. Tapi kupikir tidak menjadi alasan yang tiba tiba bikin aku harus berhenti menulis disitu. Beberapa hal yang masih terekam dan menjadi kenangan yang baik ataupun buruk sekalipun mesti kucatat. Paling tidak nantinya, tidak lagi bersusah payah berbual bual pada anak nantinya. Biar dia baca seperti apa karena ada sebuah rekaman masa lalu yang suram dan menyenangkan dari seorang ayahnya(Alay ya? Hadeeeuh!)
Saya sekolah MIN cuma sampai kelas 5. Waktu naik kelas 6 harus pindah ke SD. Karena waktu itu ada semacam �ancaman� dari dinas pendidikan kecamatan yang menegur ayah karena tidak ada satupun anaknya yang sekolah di SD, sedangkan ayah adalah guru SD. Kalian dapat bayangkan, waktu itu masa-masa orde baru (Soeharto). Sekolah agama sangat di batasi ruang geraknya. Waktu kelas 6 saya menjadi murid SD selama setahun, bertemu dengan kawan-kawan baru, sekolahnya tidak juga jauh, Cuma beda kampung saja. Ada perhatian lebih dari guru2 yang mengajar di SD itu kepada saya, karena mereka kenal dekat dengan Ayah. Saya mesti tidak bisa bandel berlebihan, demi menjaga nama baik Ayah yang guru. Selanjutnya semua adik adik saya harus sekolah di SD, tidak lagi di MIN.
Sewaktu SMP sekolah juga tidak jauh2 amat dengan kampung saya, Cuma beda dua kampung saja. Kami sekolah dengan sepeda, waktu itu lagi tren-tren nya sepeda BMX, saya Cuma pakai sepeda Phoniex. Sepeda pakai ramai-ramai di rumah. waktu SMP boleh di bilang prestasi saya di sekolah, selalu dapat rangkit 3 besar, kami Cuma bersaing 5 orang yang terus tukar ganti rangking, tapi saya selalu dapat 3 besar. Dua dari teman itu adalah kawan saya waktu SD. Waktu itu pernah mewakili sekolah ikut cerdas-cermat tingkat kecamatan, bangga bukan main. Sampai di lokasi bertemu dengan dengan kawan-kawan ayah yang guru, dapat kalian bayangkan seperti apa raut wajah bahagia seorang Ayah yang melihat anaknya ikut cerdas-cermat? Aku masih bisa mengingat masa itu sampai sekarang.
Hidup dikampung, kalian akan diajarkan segala macam pekerjaan sambil membantu orang tua, bagi yang jadi anak rajin pastinya. Soal bagaimana bercocok tanam yang menjadi pekebun itu memang sudah diajari sambil membantu, semua anak-anak kampung rata rata mampu kerja di sawah atau di kebun. Kami semua dapat sekolah hingga ke perguruan tinggi karena terbantu dengan biaya panen padi disawah, kalau diandalkan dari gaji Waled sebagai Guru, tentu saja tidaklah cukup. Dulu gaji guru benar-benar serba kekurangan, sekarang sudah sangat lumayan. Tetapi itu tidak jadi soal kami mesti berhenti sekolah karena gaji Waled sebagai guru tidak cukup, semua dapat diatasi dan diatur, hidup berhemat-hemat. Kami Cuma dapat uang jajan sekolah tiap pagi senin yang sudah di letakkan di meja makan, sesuai dengan tingkatan sekolah. Ngak ada uang jajan selain itu, beda dengan anak anak yang lain, dapat uang jajan juga ketika mereka pulang sekolah. Kama berpandai-pandailah kami menghemat selama seminggu. Waled beralasan, buat apa lagi dikasih uang misalnya kalau mau beli kerupuk, semua sudah ada dikios, tinggal ambil.
Ramai ibu di kampung yang pandai mengatur supaya dapur bisa mengepul, keluarga bisa makan sehari tiga kali. Ibu saya orang yang paling pelit dalam soal bermewah-mewah hidup kepada anak anaknya, jarang kami dibeli mainan yang di jual di toko semisal mobil-mobilan. Tapi kalau soal kami butuh uang untuk bayar SPP atau beli buku, itu tak pernah diabaikan. Untuk mobil-mobilan seringnya kami bikin sendiri dari pelepah rumbia, ada masa dan musimnya permainan ini dikampung. Lalu dengan layang-layang, kami bisa bikin sendiri, bahkan aku ingat persis sering bikin buat anak orang lain, tentunya dengan upah seadanya. Ada musim mencari anak burung dan berketapel. Ini asyiknya bukan main.
Pernah sekali dikebun tetangga kampung sebelah sewaktu kami mencari burung dengan ketapel, ada kebun mentimun. Lama kami tunggu melihat kondisi aman, kami mencuri timun-timun itu karena kehausan. Kami tak tau siapa pemiliknya. Ada 7 orang waktu itu. Sehabis makan mentium, mandi diirigasi. Bikin rakit dari pohon pisang. Ada banyak kebandelan lainya, satu persatu akan ku tulis semua sebagai ingatan kemudian kelak.[]
Bersambung......
Komentar
Posting Komentar