Ada Masanya Kau Harus Berhenti Membaca
Judul tulisan ini memang agak kontradiktif dengan catatan saya sebelumnya tentang Proyek Membaca 2014. Di catatan itu, saya mengajak orang-orang untuk membaca buku. Namun, pada catatan ini saya menyuruh orang untuk berhenti membaca. Tapi sebelum melayangkan protes kepada saya, lebih baik baca terlebih dahulu keseluruhan catatan ini.
Nah, begini ceritanya.
Untuk menyelesaikan satu cerita pendek, biasanya saya hanya membutuhkan waktu beberapa jam. Paling lama satu hari. Paling lama lagi tiga hari. Saya tidak bisa membiarkan naskah cerpen yang belum selesai �tergantung statusnya� dalam waktu yang lama. Saya merasakan dorongan yang kuat untuk menyelesaikannya, dan saya merasa berdosa jika membiarkan mereka terlantar begitu saja.
Pada satu masa, saya pernah membuat proyek pribadi bernama �30 hari 30 cerpen�. Aturannya sederhana, persis seperti judulnya: dalam 30 hari pada bulan tersebut, saya harus menulis 30 cerpen. Hasilnya, tentu saja seperti yang kau dan saya perkirakan. Saya gagal memenuhi target 30 cerpen. Dalam sebulan, saya hanya berhasil menulis 16 cerpen.
Proyek menulis semacam itu saya buat dalam rangka �mempertahankan mood� menulis dan menjaga tempo proses kreatif saya. Maksudnya, saya tidak ingin berlama-lama vakum menulis. Dua-tiga bulan tanpa menulis saja saya sudah merasa sangat berdosa. Jadi, untuk mencegah agar saya tidak merasa berdosa, saya membuat proyek seperti 30 hari 30 cerpen itu.
Cerpen-cerpen yang saya tulis pada fase itu memang jauh dari kata matang, karena diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Istilahnya, saya ngebut menyelesaikan cerpen-cerpen itu. Namun, terlepas dari kualitas cerpen-cerpen �kilat� itu, saya mengingat betapa saya bisa menyelesaikan satu cerpen dalam waktu yang singkat. Saya bisa memberikan fokus dan energi yang cukup besar untuk menyelesaikan cerpen-cerpen itu dengan cepat.
Mendekati akhir tahun lalu, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca daripada menulis. Dalam tiga bulan terakhir di 2013, saya hanya menyelesaikan satu cerpen. Terakhir, saya sedang menulis satu cerpen baru dan sampai sekarang belum kelar-kelar. Sudah satu bulan sejak saya mulai menulis cerpen tersebut. Buat saya, ini mengkhawatirkan. Entah mengapa, tiba-tiba saya merasa sangat berhati-hati saat menulis bagian demi bagian cerpen itu. Saya takut cerpen yang saya tulis jelek. Ketakutan seperti ini tidak pernah hinggap di kepala saya sebelumnya. Ya, kadang-kadang saya merasa khawatir dengan apa yang saya tulis. Saya khawatir cerita yang saya tulis kurang bagus, tapi tidak sampai takut dan terbebani seperti saat ini. Sekali lagi, buat saya ini mengkhawatirkan.
Saya mencoba mencari tahu apa sebabnya. Mengapa saya menjadi terlalu berhati-hati saat menulis dan seperti terbebani. Saya jadi tidak percaya diri. Saya jadi sangat perhitungan. Setelah saya telusuri, ternyata salah satu penyebabnya adalah: saya dihantui oleh buku-buku yang saya baca. Saya takut, cerita yang saya tulis tidak sebagus buku-buku tersebut. Dan semakin banyak membaca, semakin sulit saya menulis.
Beberapa minggu sebelum menulis catatan ini, saya bertemu dengan seorang penulis cum editor, sebut saja namanya Aomame. Saya dan Aomame berbincang-bincang di suatu pagi hari di sebuah minimarket semi kedai (saya menyebutnya semi kedai karena di teras minimarket itu terdapat kursi-kursi dan meja). Kami berbincang-bincang tentang banyak hal, salah satunya adalah seperti yang saya tulis pada catatan ini. Saya bilang kepada Aomame, saya merasa sulit menulis dan saya menduga itu karena buku-buku yang saya baca. Aomame menjawab dengan beberapa kalimat yang bisa saya persingkat menjadi demikian: ada masanya kau harus berhenti membaca.
Terus terang saja, saya sedikit syok mendapat pernyataan semacam itu dari Aomame. Saya tahu, Aomame adalah penulis, juga editor. Saya tidak bisa membayangkan kalimat �Ada masanya kau harus berhenti membaca� dari orang yang menghabiskan hari-harinya untuk menulis dan membaca naskah orang lain. Tapi saya mencoba memberi perhatian lebih pada satu bagian dari kalimat itu: ada masanya. Kapankah masa itu? Kapankah saya harus berhenti membaca buku?
Melihat kerutan di dahi saya dan tatapan mata saya yang melesatkan pertanyaan, Aomame melanjutkan pernyataannya: �Saat menulis, kau harus melupakan apa yang kau baca. Malah, kau harus berhenti membaca. Jangan membaca saat menulis. Dan jangan menulis saat membaca.�
Saya pikir, menarik sekali apa yang diucapkan oleh Aomame. Biasanya, kedua aktivitas tersebut saya lakukan secara bersamaan. Setidaknya, saya tidak pernah berniat atau berencana atau mengharuskan diri saya untuk memisahkan timeline kedua aktivitas itu: membaca dan menulis. Saat saya ingin membaca buku, saya membaca. Saat saya ingin menulis, saya menulis. Saya tidak melihat apakah saat membaca saya sedang menulis atau saat saya menulis saya sedang membaca.
Namun, setelah saya menghubung-hubungkannya dengan ketakutan dan beban yang saya rasakan saat menulis, saya pikir Aomame ada benarnya. Mungkin saya harus memisahkan kedua aktivitas itu. Ketika berencana menulis, saya harus berhenti membaca sebulan atau dua bulan sebelumnya untuk mengambil jarak dari buku-buku yang saya baca, agar pengaruh buku-buku itu tidak menghantui saya dan menghancurkan rasa percaya diri saya dalam menulis. Sebaliknya, saat membaca buku, baiknya saya betul-betul fokus membaca saja dan tidak nyambi menulis. Saya tidak bisa melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan. Seperti saya tidak bisa mencintai dua orang yang berbeda dalam waktu bersamaan. ***
Komentar
Posting Komentar