Melihat Geliat Sastra di Kalimantan Barat




Gerakan sastra di Kalimantan Barat sampai sekarang belum terdengar di kancah nasional. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena selain kurangnya publikasi karya sastrawan-sastrawan Kalimantan Barat di media nasional, juga karena intensitas komunitas sastra yang belum terlalu maksimal.
Demikian disampaikan penulis Bernard Batubara dalam kegiatan baca puisi bersama dan diskusi sastra yang diselenggarakan di Rumah Mimpi, Taman Gitananda, Senin (6/1) malam.

Bernard Batubara merupakan penulis muda kelahiran Kalimantan Barat yang merintis karir kepenulisannya di Yogyakarta. Di jagat kesusastraan nasional sendiri, Bernard merupakan salah satu penulis yang diperhitungkan. Karya-karyanya tak hanya kerap mewarnai media nasional yang dianggap "barometer" sastra Indonesia seperti Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, dan lain-lain, tetapi buku-buku sastranya juga sedang digandrungi pembaca sastra Indonesia, bahkan salah satu novelnya berjudul Kata Hati diproduksi dalam bentuk film dan tayang di seluruh bioskop di Indonesia.

Kepulangan Bernard ke Pontianak kemarin malamlah yang menjadi alasan berkumpulnya para penggiat sastra di kota ini dan menggelar kegiatan di Rumah Mimpi.

Dalam diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut, Bernard banyak bercerita tentang minimnya pengetahuannya pribadi mengenai geliat sastra di Pontianak. Kemudian dia menjelaskan tentang fenomena munculnya sastrawan-sastrawan dari daerah yang selama ini tidak diperhitungkan dalam kancah nasional seperti di wilayah Timur Indonesia. �Teman-teman sastrawan di Flores saat ini karya-karyanya sering muncul di media nasional. Selain itu mereka kerap diundang dalam pertemuan sastra bertaraf nasional bahkan internasional,� ujar Bernard.

Penulis novel Cinta dengan Titik itu menilai kemunculan sastrawan-sastrawan muda dari wilayah timur Indonesia ini tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi melalui proses panjang dengan merawat komunitas, mendokumentasikan karya dan berbagai kegiatan sastra lewat jurnal secara rutin, serta menyebarkan jurnal tersebut ke berbagai event sastra di seluruh Indonesia. �Atas landasan tersebutlah, saya kemudian mendirikan kelas menulis dengan nama Kopdar Fiksi di Kota Pontianak,� katanya.

Kopdar Fiksi sendiri diharapkan mampu menjadi harapan baru bermunculannya karya-karya penulis muda dari Kalimantan Barat yang tidak muncul secara instan. Pada saatnya nanti, jika karya-karya tersebut benar-benar matang, mampu bersaing dengan karya-karya penulis Indonesia lainnya di media nasional.

Sementara itu, peneliti dari Balai Bahasa, Khairul Fuad, mengatakan bahwa pada dasarnya sejak tahun 50-an di Kalimantan Barat sudah bermunculan komunitasi-komunitas sastra. Bahkan pada massanya sempat memunculkan sastrawan-sastrawan lokal yang menasional. Intensitas sastra di Kalbar sendiri terus berlanjut hingga awal tahun 2000-an. �Hingga akhirnya, sepeninggal kritikus sastra Kalimantan Barat Odhys, perkembangan sastra di daerah ini berangsur-angsur surut bahkan bisa dikatakan mati suri,� ungkapnya.

Barulah sekitar tahun 2005 harapan baru bagi sastra Kalimantan Barat kembali hadir dengan munculnya Pay Jarot Sujarwo, Amrin Zuraidi Rawansyah, dan Yophi Tiara lewat buku kumpulan cerpen mereka yang berjudul Nol Derajat (Pena Khatulistiwa, 2005).

Menurut Khairul Fuad, delapan tahun setelah kehadiran Pay Jarot Sujarwo CS tersebut, komunitas sastra dan geliatnya semakin mewarnai jagat kesusastraan di Kalbar. �Hanya saja intensitas serta etika berkomunitas memang masih dirasa belum maksimal. Padahal potensi para penulis sastra di daerah ini cukup besar,� tuturnya.

Di bagian akhir diskusi, Bernard Batubara bersama para hadirin menyepakati tentang perlunya komitmen merawat komunitas ini serta diperlukan adanya upaya untuk mempublikasikannya ke kancah nasional secara terus menerus. Komitmen ini akan ditandai dengan portal di internet sebagai ruang diskusi sastra terbuka khususnya di Kalimantan Barat dengan nama Kalbar Menulis.

Kegiatan yang berlangsung sederhana ini dihadiri oleh para penggiat sastra seperti Musfeptial, Khairul Fuad, Nano Basuki, Pay Jarot Sujarwo, Ninda, Ilham Setiawan, serta para member dari kelas menulis Kopdar Fiksi bentukan Bernard Batubara. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis