Sepasang Tangan Hanyut di Sungai Kapuas



Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga



Sepasang Tangan Hanyut di Sungai Kapuas
Cerpen Bernard Batubara
Dimuat di Pontianak Post, 2 Maret 2014


Di sebuah desa kecil, tak betapa jauh dari Sungai Kapuas, duduklah sejoli yang tengah dimabuk cinta. Si lelaki muda rupawan bernama Sarif, dan gadis jelita berambut gelombang yang ia genggam tangannya itu bernama Meihana. Mereka duduk di tepi sungai, tempat kesukaan mereka menghabiskan waktu, sekaligus melarikan diri dari sesuatu yang menjadi sandungan hubungan mereka.

�Mei��, kata lelaki itu.

�Jangan panggil aku Mei. Suhana saja.�

�Suhana?� Sarif mengernyitkan dahinya. �Kenapa?�

�Ya. Setelah kupikirkan matang-matang, selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, maka telah kuputuskan semalam menjelang aku terlelap, bahwa sekarang namaku bukan Meihana lagi.� ujar perempuan itu mantap. �Melainkan, Suhana.�

Sarif menatap mata Meihana, atau Suhana, dengan penuh cinta. Ia agaknya paham alasan Meihana mengganti namanya sendiri. Kemudian ia menggenggam tangan gadis itu lebih erat dari sebelumnya. Dan sembari tersenyum, Suhana menidurkan kepalanya di pundak Sarif yang kokoh. Betapa beruntungnya ia mendapat kekasih seorang lelaki yang gagah, dan penuh tekad serta berani memperjuangkan cintanya. Tak seperti laki-laki lain yang segera mundur ketika tahu bahwa orangtua Suhana tak memberikan restu.

Suhana tahu, Sarif adalah lelaki yang berbeda. Dan, Sarif pun tahu, bahwa Suhana layak untuk ia perjuangkan.

�Jangan lepaskan genggamanmu, Sarif. Sampai maut memisahkan kita.�

�Sampai maut memisahkan kita, Suhana.�

Sungai di bawah kaki Sarif dan Suhana terus mengalir menjemput muaranya: mulut Sungai Kapuas yang lebar terbuka. Langit di siang hari betapa biru kini seakan tersenyum melihat sejoli yang tengah dimabuk cinta itu.

***

Menjelang petang, Sarif pulang ke rumahnya. Ia mendapati ayahnya sedang duduk di beranda. Tak ia mengerti, mengapa ayahnya tampak berwajah tak senang. Apakah telah terjadi sesuatu, pikirnya. Sarif berjalan agak waswas menghampiri ayahnya.

�Ke mana saja kau tadi, Sarif?�

�Aku ke rumah teman, Ayah.�

�Bohong kau.�

�Betul, Ayah. Aku ke rumah teman. Kalau tak percaya-�

�Pardi penunggu durian tadi ketemu Ayah di pasar. Ia bilang, ia melihatmu berdua dengan perempuan duduk di sungai dekat hutan. Betulkah itu?�

Sarif menundukkan kepalanya. Celaka ia kini.

�Jawab, Sarif. Betulkah apa yang dilihat Pardi itu?�

�Be-Betul, Ayah.�

Lalu sepasang mata ayah Sarif yang memang sudah merah, sekarang kian nyalang saja. Lelaki bertubuh kurus dan berkumis tebal itu menggebrak meja di beranda dengan tangannya yang berurat menonjol. Sarif lalai. Seharusnya ia tahu sekarang sudah masuk musim durian. Banyak orang keluar-masuk hutan untuk menunggu buah jatuh. Dan ayahnya yang memiliki banyak informan itu, bisa �memantau� pertemuannya dengan Suhana.

�Berapa kali kukatakan kepadamu agar tak menemui gadis jelata itu lagi.�

�Maaf, Ayah��

�Kuberikan hak-hakmu sebagai anak dan kuajarkan kau untuk menjadi lelaki, Sarif. Tapi kenapa tak kauhormati permintaanku dan prinsip keluargamu sendiri?�

�Tapi, Ayah. Aku mencintai Meihana.�

�Gadis anak toko kelontong itu punya masa depannya, Sarif, tapi bukan bersamamu! Tinggalkan dia, ia tak layak!�

�Kami saling mencintai, Ayah��

�Sarif, anakku, telah kupilihkan untukmu gadis terbaik. Anak juragan kayu. Seorang syarifah, sama sepertimu. Sederajat dengan kau!�

Sarif tahu, percakapan ini takkan berujung. Setidaknya, tak seperti yang ia inginkan. Ayahnya takkan pernah paham apa yang ia dan Suhana rasakan saat ini. Sarif pun tak mengerti dengan ayahnya sendiri, bukankah lelaki tua itu dulu juga pernah dilanda cinta? Bukankah semestinya ia, setidaknya, mencoba sedikit saja memahami bahwa anaknya kini telah menjatuhkan hatinya pada seorang gadis yang juga mencintainya? Dan bagaimana pula Sarif dipaksa untuk melepaskan anugerah yang begitu indah itu?

***

�Hana��

�Ya, Sarif, kekasihku?�

�Ayah menyuruhku menemui Zahra.�

�Oh�� Tiba-tiba, Suhana mengendurkan genggamannya dari tangan Sarif. Ia menundukkan kepala, menatap alir air sungai yang pelan. �Anak juragan kayu itu?�

Sadar bahwa Suhana merasa tak nyaman, Sarif menggenggam tangan gadis berkulit putih dan bermata mungil itu lebih erat. Lebih hangat. �Ya, Hana. Tak apa-apa, kan? Aku hanya akan menemuinya, tak ada urusan lain.�

�Bagaimana aku bisa melarangmu, Sarif. Aku tak punya hak atasmu.�

�Jangan kau khawatir, Hana. Aku akan selalu kembali untukmu. Hatiku telah aku jatuhkan padamu. Tanganku hanya muat digenggam oleh tanganmu. Kau tahu itu, Hana?�

Lalu, gadis kurus itu pun menoleh kembali ke wajah lelaki gagah nan tampan di sebelahnya. Perlahan, ia tersenyum. Senyum itulah yang pertama kali merampas hati Sarif saat mereka bertemu di hutan beberapa bulan yang lalu, kala Sarif bersama teman-temannya tengah bermain tapok pipit di antara pohon-pohon menjulang dan semak belukar. Meihana, atau Suhana, berjalan di pinggir sungai dan Sarif bertemu pandang dengan gadis itu. Lantas Sarif dan Meihana bertukar senyum dan seketika bibit-bibit asmara pun tumbuhlah di dasar dada belia mereka.

 �Sarif��

�Ya, Hana, gadisku?�

�Kau tahu, ibu melarangku untuk menemuimu.�

�Ya, aku tahu.�

�Aku mengganti namaku agar aku bisa bersatu denganmu. Agar aku tak berbeda. Agar aku tak dipandang asing oleh ayahmu dan tak pantas mencintaimu sebab aku bukan dari wilayah dan silsilahmu, dan aku hanya gadis toko kelontong.�

�Kita tak berbeda, Hana. Kita sama manusia. Kita sama saling cinta.�

Berat sekali Suhana menahan airmatanya yang hendak mengalir. Tak bisa ia bayangkan jika Sarif betul-betul akan menikah dengan Zahra, gadis juragan kayu yang cantiknya tiada tara itu. Suhana tahu, Zahra adalah gadis yang sepantaran dengan Sarif, dari garis silsilah yang serupa. Sementara dirinya hanya semacam makhluk asing di mata ayah dan keluarga Sarif, tak pantas menjatuhkan hati pada lelaki rupawan itu.

Tanpa Sarif tahu, setetes airmata Suhana jatuh juga ke permukaan sungai. Muncullah riak-riak kecil yang menyimpan seperti luka dari hati terdalam Suhana. Luka dan ketakutan itu larut dan bercampur dalam arus sungai, berenang hingga mencapai mulut Kapuas: muaranya. ***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis