10 Buku Favorit Tahun Ini
Seperti telah saya akui di tulisan sebelumnya tentang daftar buku yang saya baca tahun ini, tahun 2014 saya membaca buku lebih sedikit. Sebagian besar dari buku itu tidak menyisakan apa-apa di kepala saya selain statistik dan perasaan bahwa saya telah menebus dosa dengan mengurangi tumpukan buku yang belum dibaca. Mungkin hal itu terjadi karena saya membaca dengan kurang khidmat, atau mungkin buku-buku tidak menyasar saya sebagai pembacanya. Apapun bisa terjadi.
Yang jelas, dari sejumlah buku yang saya baca tahun ini, ada beberapa yang sangat saya suka. Bukan hanya saya terkagum-kagum pada kemampuan menulis pengarangnya, melainkan juga perasaan yang saya dapatkan saat membaca buku-buku ini. Sensasi menghantam kepala, sekaligus menghentak dada karena isu yang relatable dengan pengalaman hidup saya, juga cara pandang mereka terhadap kehidupan, dan cara mereka menyampaikan cara pandang itu lewat cerita.
Saya belum pernah melakukan ini, tapi saya kira mendaftar buku-buku favorit adalah salah satu cara untuk mengingatkan kepada diri saya sendiri, bahwa buku masih jadi tempat liburan yang menyenangkan, sekaligus gua penuh keajaiban tak habis-habis. Ia dapat mengubah cara saya melihat dunia, hal-hal kecil, juga memandang apa yang ditawarkan dalam hidup ini: kehidupan itu sendiri.
Untuk itu, buku-buku berikut adalah beberapa yang paling membuat saya merasakan sensasi semacam tadi. Jumlahnya lebih, sebetulnya, namun saya menggenapkannya saja menjadi 10 (sepuluh).
Ini adalah sepuluh buku favorit saya, yang saya baca di tahun ini:
The Book Thief � Markus Zusak
Mengambil narator dari sudut pandang Kematian, saya kira adalah hal paling cerdas yang dilakukan Zusak dalam buku ini. Kisah seorang gadis kecil, bersama ibu dan ayahnya yang semuanya Yahudi, bergulir di bawah pemerintahan Adolf Hitler. Aktivitas Nazi dan adegan-adegan kematian yang keras dibungkus oleh narasi lembut dan terkadang indah. Kata-katanya sangat mengalir. Saya nyaris menitikkan airmata di bagian akhir cerita.
The Brief Wondrous Life of Oscar Wao � Junot D�az
Kalimat pertama yang saya ucapkan seusai membaca buku ini adalah: Shit. Saya mengumpat. Dan, ketika saya mengumpat saat atau seusai membaca buku, saya tahu bahwa saya sangat, sangat menyukainya. Membaca buku-buku Junot D�az membuat saya bergumam kagum sekaligus mendapat pencerahan: �Ternyata novel bisa ditulis dengan cara seperti ini�. Bahasanya lincah, sembarangan, dan terkadang vulgar. Di buku ini, D�az bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga yang hidup di bawah pemerintahan diktator Rafael Trujillo.
Kafka on the Shore � Haruki Murakami
Favorit kedua saya setelah Dengarlah Nyanyian Angin. Murakami menggunakan teknik yang serupa 1Q84, plot ganda yang berjalan secara paralel, lalu di satu titik bertemu. Kadar sureal dalam buku ini cukup banyak. Masih dengan seksualitas dan hal-hal gaib yang tak terjelaskan oleh nalar, tentu saja. Namun, yang membuat saya menyukai buku ini adalah, betapa lama-kelamaan saya mulai merasa hal-hal gaib dan aneh itu perlahan-lahan menjadi bagian yang dapat dimaklumi, dimengerti, bahkan diterima. Seperti kucing yang berbicara dan segerombolan ikan jatuh dari langit.
A Tale for the Time Being � Ruth Ozeki
Saya tidak punya ekspektasi besar saat mulai membaca buku ini. Dan itulah hal terbaiknya. Paragraf pembukanya langsung membuat saya tertarik. Ruth Ozeki berkisah tentang dua tokoh utama yang hidup di dua generasi berbeda jauh. Satunya hidup di era modern, satunya lagi hidup di masa lampau. Mereka dihubungkan oleh sebuah buku diary. Bullying, perbandingan budaya tua dan modernitas, adalah beberapa hal yang dibahas. Ozeki mempertemukan kultur Jepang modern dengan budisme zen, dan menuliskannya dalam bahasa yang enak. Kau akan menemukan banyak jargon-jargon Jepang di sini.
Inferno � Dan Brown
Tidak pernah lagi saya menikmati sebuah buku tanpa menganalisisnya, betul-betul tenggelam dalam pembacaan, semenjak menamatkan serial Harry Potter, sepuluh tahun yang lalu. Sampai saya bertemu dengan buku ini. Dan Brown tahu betul bagaimana mengarang sebuah novel yang page turner. A totally page turner, I should say on this one. Saya tidak bisa meneliti elemen-elemen fiksi dan teknik menulis pengarangnya, karena saya terisap habis ke dalam cerita. Jika saya sedang rindu membaca novel yang membuat saya lupa makan dan tak ingin melepaskan novel itu dari tangan saya, maka saya tahu harus membaca novel karangan siapa.
1984 � George Orwell
Orwell meramalkan, dan ramalan itu luar biasa karena ditulis tak kurang dari setengah abad yang lalu namun masih relevan hingga saat ini. Kehidupan manusia di bawah kontrol pemerintah yang eksklusif, tertutup, dan tak tergoncangkan. Sebuah tirani di atas keinginan dan kebebasan. Buku dystopian terbaik yang pernah saya baca, dan akan selalu saya anjurkan bagi siapapun yang ingin membaca buku bagus.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas � Eka Kurniawan
Setelah era pengarang perempuan Indonesia yang mengemukakan isu seksualitas beberapa masa lampau, tidak ada lagi pengarang Indonesia yang dapat menggunakan kevulgaran dan seks dengan baik dan tepat. Sebagian besar, saya kira, hanya memasukkan unsur seks demi seks itu sendiri, atau lebih buruk: untuk sensasi. Eka Kurniawan tidak demikian. Di buku terbarunya yang terbilang tipis ini ia dengan sadar menggunakan bahasa vulgar dan memasukkan unsur seksualitas untuk membongkar sesuatu. Mungkin selubung kemunafikan manusia atau kesopanan yang meracuni. Meskipun Eka masih tampak sopan, karena ia menggunakan burung untuk menyebut kelamin, alih-alih istilah lain yang lebih gamblang.
Animal Farm � George Orwell
Saya tidak tahu bahwa fabel bisa dipakai untuk menyampaikan ideologi politik. Barangkali hanya Orwell yang bisa melakukannya dengan menyenangkan. Animal Farm bisa dibaca sebagai fabel, bisa pula dibaca sebagai manifesto sikap kritis terhadap sebuah pemerintahan. Di buku ini segerombolan binatang beragam jenis hidup di bawah otoritas seekor, atau dua ekor, babi. Analogi yang cerdas dan tepat untuk menggambarkan hubungan rakyat dengan negaranya, atau sebaliknya. Seringkali saya kagum bagaimana saya dapat lebih memahami tingkah laku dan sifat-sifat alamiah manusia dari menonton film atau membaca buku tentang binatang.
Sputnik Sweetheart � Haruki Murakami
Kisah cinta yang sederhana sekaligus tidak sederhana. Saya sudah terpikat sejak paragraf awal. Bagaimana seorang gadis mencintai seorang perempuan yang lebih tua. Dengan caranya sendiri, Murakami berhasil membuat saya merasa tidak sedang membaca sekadar cerita tentang dua orang lesbian, melainkan lebih dari itu. Absurditas di buku ini berada pada takaran yang pas, sehingga saya tidak terlalu repot bertanya-tanya, namun tidak juga kelewat merasa kering karena tidak ada hal-hal yang asyik untuk dibayangkan. Saya rasa siapapun yang ingin mengenal karya-karya Murakami, bisa memulainya dengan buku ini.
1Q84 � Haruki Murakami
Saya tak melihat buku ini sebagai apapun selain proyek ambisius Murakami. Saya bahkan takjub saat menyadari bahwa saya membacanya hingga kelar. Meski demikian, saya sangat menyukai beberapa adegan di dalamnya, dan sebagian besar adegan itu terkait dengan, lagi-lagi, hal-hal di luar nalar dan tak terjelaskan. Jika ada yang sudah membaca 1984 Orwell, saya katakan bahwa buku ini bukan epigon. Murakami memberi respons kebalikan dari 1984. Jika di 1984 ada Big Brother, maka di 1Q84 Murakami punya Little People. Jika di 1984 Orwell memberikan pemerintah totaliter dan otoriter, lewat 1Q84 Murakami menyodorkan sedikit komunisme. Sebagai informasi, buku ini tebalnya 1.400 halaman lebih.
Komentar
Posting Komentar