Seandainya Aceh Konflik dan Perang Media Sosial
Apa jadinya kalau sekarang ini Aceh kembali berkonflik seperti tahun 1998 hingga 2005 lagi? Bagi yang pernah hidup kala itu di perkampungan pedalaman Aceh tentu akan paham. Merasakan bagaimana susahnya bekerja dan hidup dengan daerah konflik. Sekolah dibakar, anak anak jadi sulit mengakses pendidikan. Para petani sudah bekera di sawah. Razia dan para tentara turun kampung, jaga malam diberlakukan. Sweping paling sering terjadi di jalan raya. KTP jadi barang wajib harus dibawa kemana saja pergi. Tanpa KTP siap siap saja diangkut ke pos terdekat. Pos aparat keamanan ada di mana mana. Berondongan senjata sering terjadi dan banyaknya jatuh korban dari pihak sipil tak bersenjata dan pihak yang bertikai. Malam hari adalah waktu paling mencekam. Listrik tidak beda jauh dengan sekarang, juga paling sering dipadamkan. di depan pos pos aparat keamanan harus dilewati drum zag-zig.
Aceh benar benar jadi tempat yang asing dan sulit terakses ke luar bagi orang yang ingin mengetahuinya keadaan. Malam hari harus tidur dilantai, demi menghindari peluru nyasar andai ada kontak tembak senjata. Warung kopi jarang buka malam hari. Ekonomi tak bergairah. Truk reo dengan dinding anti peluru paling sering berkonvoi, wajah seram aparat keamanan paling garang dan sering menaruh curiga pada orang orang yang diduga sebagai kaum pemberontak. Kala itu, sulit nya serdadu membedakan mana GAM dan mana warga sipil tak terlibat. GAM adalah orang Aceh, tetapi tidak semua orang Aceh adalah GAM.
Pernyataan lazim dari serdadu dalam menggambarkan Aceh: orang Aceh kalau siang lempar senyum, kalau malam lempar granat. Kalimat itu dimaksudkan kalau siang hari ada GAM yang melewati pos dan mengangkat tangan sebagai bentuk ramah kepada serdadu yang berada di pos aparat. Malam hari mereka melempar granat.
Tahun 2000an, teknologi belum berkembang semudah sekarang ini. Telepon genggam belum banyak yang gunakan. Informasi hanya tersebar via mulut ke mulut atau akses dari handy talky milik pasukan Gerakan Aceh Merdeka. Kadang juga informasi yang tersebar dari informan GAM menyamar sebagai tukang ojek [RBT] atau dengan profesi yang lain. Baik pihak GAM dan TNI/Polri juga punya gaya masing masing dalam menyebarkan informan ke kampung-kampung, beberapa ditangkap oleh pihak lawan. Beberapa selamat memberi informasi bantuan.
Bandingkan dengan kejadian hari ini. Sewaktu konflik dulu, jika ada letusan senjata, atau terjadi pembunuhan, perampokan, dan isu lainnya yang ratusan kilometer jauh dengan tempat tinggal kita, baru dapat diketahui melalui koran cetak yang terbit besok. Itupun setelah melalui sensor. Judul berita koran yang tak kalah mencekam bagi kita yang membacanya. Saling bantah antara pihak TNI/Polri dengan GAM. Ada koran yang dituduh pro GAM, ada yang dituduh pro aparat pemerintah. Tetapi membaca koran tidak juga begitu mudah. Akses koran harus menunggu waktu siangnya baru ada di warung kopi. Beberapa pedalaman tentu lebih sulit lagi mengakses berita kejadian sehari sebelumnya. Kondisi benar benar sangat minim informasi atas kejadian di Aceh.
Mengandalkan berita radio atau televisi bisa jadi alasan yang lain. Hanya saja, akses informasi tidak begitu cepat diketahui seperti sekarang ini. Kejadian pagi, baru dapat kita nonton TV sore/malam/esok harinya. Waktu sekarang ini, informasi begitu cepat sampai tiap ada kejadian di Aceh. Terlepas info itu benar atau salah, isu begitu mudah tersebar ke publik. Kecanggihan teknologi telepon pintar yang murah dan mudah dibeli oleh siapa saja, menjadikan satu alasan tersendiri cepatnya informasi.
Foto foto kejadian misalnya akan cepat sampai ke media sosial facebook, twitter, path dan sebagainya. Orang tinggal bagikan semudah jempolnya menekan tomblo share. Jadilah informasi itu tersebar dengan cepat. Kadang kala, foto-foto yang tidak sepantasnya dilihat publik luas tersebar begitu cepat. Anehnya foto begitu dishare oleh orang yang berpendidikan tinggi. Saya tidak tau, apa alasan bagi mereka dan betapa mirisnya jika saja yang dalam foto tersebut adalah keluarnya. Bagi saya ini sangat menyedihkan sekali.
Canggihnya teknologi informasi membuat tidak canggih pikiran orang dalam memberikan informasi di media sosial. Satu sisi memang bagus juga jika sekarang ini informasi begitu mudah dan cepat kita dapatkan. Satu sisi lain, kadang kala informasi hoax yang belum jelas infonya tersebar begitu mudah dan cepat. Maka penting mengetahui etika dalam menyebarkan informasi.
Saya jadi berpikir, kalau misalnya (semoga saja tidak) sekarang ini Aceh berkonflik lagi, maka akan banyak orang yang mengakses dan membagikan info via status facebook dan twitter. Informasi tentang razia dan pemberondongan akan cepat tersebar juga. Foto-foto kejadian bisa mudah diupload oleh siapa saja. Dari banyak penjuru kampung sekalipun. Grup-grup facebook akan diramaikan dengan informasi kejadian-kejadian kontak senjata. Info-info grebek markas GAM akan tersebar luas ke masyarakat, begitu juga info lokasi sweping tentara. Tangkap menangkap akan mudah diketahui, penculikan cepat terupdate ke media sosial.
Jika demikian, apakah media sosial seperti fesbuk, twitter, path dan media media online lainnya akan dibatasi di Aceh? Jika tidak, maka informasi akan sangat mudah diketahui oleh lawan yang lagi bertikai. Saya berharap itu tidak terjadi, mengingat akses informasi kondisi daerah konflik sangat penting diketahui, apalagi bagi orang yang ada keluarganya di Aceh. Tinggal bagaimana kita bisa memilah dan memilih mana informasi yang akurat dan tepat. Jangan sampai juga, mudahnya informasi yang tersebar akan jadi provokasi massa yang sangat menakutkan. Media sosial bisa jadi ancaman yang menakutkan atas pergerakan massa, dia punya peran penting dalam mengumpulkan massa.
Sekarang, tiap ada kejadian di Aceh begitu mudah tersebarkan informasi. Internet jadi alat penting dalam mengetahui/menyebarkan info tersebut. Orang di seluruh dunia jadi lebih cepat tau tiap ada kejadian di Aceh. Media online tumbuh dengan sangat banyak sekali. Tsunami informasi sangat cepat sampai ke seluruh penjuru dunia. Mengaksesnya pun cukup mudah, kita hanya memiliki telepon pintar, lalu semua informasi dapat diketahui. Perang informasi melalui media sosial tak kalah panas dna mencekam dari dunia nyata. Saya sulit membayangkan bagaimana seandainya itu terjadi. Jika Aceh terjadi konflik lagi, apa kira kira status facebook kalian? []
Aceh benar benar jadi tempat yang asing dan sulit terakses ke luar bagi orang yang ingin mengetahuinya keadaan. Malam hari harus tidur dilantai, demi menghindari peluru nyasar andai ada kontak tembak senjata. Warung kopi jarang buka malam hari. Ekonomi tak bergairah. Truk reo dengan dinding anti peluru paling sering berkonvoi, wajah seram aparat keamanan paling garang dan sering menaruh curiga pada orang orang yang diduga sebagai kaum pemberontak. Kala itu, sulit nya serdadu membedakan mana GAM dan mana warga sipil tak terlibat. GAM adalah orang Aceh, tetapi tidak semua orang Aceh adalah GAM.
Pernyataan lazim dari serdadu dalam menggambarkan Aceh: orang Aceh kalau siang lempar senyum, kalau malam lempar granat. Kalimat itu dimaksudkan kalau siang hari ada GAM yang melewati pos dan mengangkat tangan sebagai bentuk ramah kepada serdadu yang berada di pos aparat. Malam hari mereka melempar granat.
Tahun 2000an, teknologi belum berkembang semudah sekarang ini. Telepon genggam belum banyak yang gunakan. Informasi hanya tersebar via mulut ke mulut atau akses dari handy talky milik pasukan Gerakan Aceh Merdeka. Kadang juga informasi yang tersebar dari informan GAM menyamar sebagai tukang ojek [RBT] atau dengan profesi yang lain. Baik pihak GAM dan TNI/Polri juga punya gaya masing masing dalam menyebarkan informan ke kampung-kampung, beberapa ditangkap oleh pihak lawan. Beberapa selamat memberi informasi bantuan.
Bandingkan dengan kejadian hari ini. Sewaktu konflik dulu, jika ada letusan senjata, atau terjadi pembunuhan, perampokan, dan isu lainnya yang ratusan kilometer jauh dengan tempat tinggal kita, baru dapat diketahui melalui koran cetak yang terbit besok. Itupun setelah melalui sensor. Judul berita koran yang tak kalah mencekam bagi kita yang membacanya. Saling bantah antara pihak TNI/Polri dengan GAM. Ada koran yang dituduh pro GAM, ada yang dituduh pro aparat pemerintah. Tetapi membaca koran tidak juga begitu mudah. Akses koran harus menunggu waktu siangnya baru ada di warung kopi. Beberapa pedalaman tentu lebih sulit lagi mengakses berita kejadian sehari sebelumnya. Kondisi benar benar sangat minim informasi atas kejadian di Aceh.
Mengandalkan berita radio atau televisi bisa jadi alasan yang lain. Hanya saja, akses informasi tidak begitu cepat diketahui seperti sekarang ini. Kejadian pagi, baru dapat kita nonton TV sore/malam/esok harinya. Waktu sekarang ini, informasi begitu cepat sampai tiap ada kejadian di Aceh. Terlepas info itu benar atau salah, isu begitu mudah tersebar ke publik. Kecanggihan teknologi telepon pintar yang murah dan mudah dibeli oleh siapa saja, menjadikan satu alasan tersendiri cepatnya informasi.
Foto foto kejadian misalnya akan cepat sampai ke media sosial facebook, twitter, path dan sebagainya. Orang tinggal bagikan semudah jempolnya menekan tomblo share. Jadilah informasi itu tersebar dengan cepat. Kadang kala, foto-foto yang tidak sepantasnya dilihat publik luas tersebar begitu cepat. Anehnya foto begitu dishare oleh orang yang berpendidikan tinggi. Saya tidak tau, apa alasan bagi mereka dan betapa mirisnya jika saja yang dalam foto tersebut adalah keluarnya. Bagi saya ini sangat menyedihkan sekali.
Canggihnya teknologi informasi membuat tidak canggih pikiran orang dalam memberikan informasi di media sosial. Satu sisi memang bagus juga jika sekarang ini informasi begitu mudah dan cepat kita dapatkan. Satu sisi lain, kadang kala informasi hoax yang belum jelas infonya tersebar begitu mudah dan cepat. Maka penting mengetahui etika dalam menyebarkan informasi.
Saya jadi berpikir, kalau misalnya (semoga saja tidak) sekarang ini Aceh berkonflik lagi, maka akan banyak orang yang mengakses dan membagikan info via status facebook dan twitter. Informasi tentang razia dan pemberondongan akan cepat tersebar juga. Foto-foto kejadian bisa mudah diupload oleh siapa saja. Dari banyak penjuru kampung sekalipun. Grup-grup facebook akan diramaikan dengan informasi kejadian-kejadian kontak senjata. Info-info grebek markas GAM akan tersebar luas ke masyarakat, begitu juga info lokasi sweping tentara. Tangkap menangkap akan mudah diketahui, penculikan cepat terupdate ke media sosial.
Jika demikian, apakah media sosial seperti fesbuk, twitter, path dan media media online lainnya akan dibatasi di Aceh? Jika tidak, maka informasi akan sangat mudah diketahui oleh lawan yang lagi bertikai. Saya berharap itu tidak terjadi, mengingat akses informasi kondisi daerah konflik sangat penting diketahui, apalagi bagi orang yang ada keluarganya di Aceh. Tinggal bagaimana kita bisa memilah dan memilih mana informasi yang akurat dan tepat. Jangan sampai juga, mudahnya informasi yang tersebar akan jadi provokasi massa yang sangat menakutkan. Media sosial bisa jadi ancaman yang menakutkan atas pergerakan massa, dia punya peran penting dalam mengumpulkan massa.
Sekarang, tiap ada kejadian di Aceh begitu mudah tersebarkan informasi. Internet jadi alat penting dalam mengetahui/menyebarkan info tersebut. Orang di seluruh dunia jadi lebih cepat tau tiap ada kejadian di Aceh. Media online tumbuh dengan sangat banyak sekali. Tsunami informasi sangat cepat sampai ke seluruh penjuru dunia. Mengaksesnya pun cukup mudah, kita hanya memiliki telepon pintar, lalu semua informasi dapat diketahui. Perang informasi melalui media sosial tak kalah panas dna mencekam dari dunia nyata. Saya sulit membayangkan bagaimana seandainya itu terjadi. Jika Aceh terjadi konflik lagi, apa kira kira status facebook kalian? []
Komentar
Posting Komentar