Sanger Day, Ijakrong Dan Malam Pertama

Sabtu Malam dipenghujung pekan akhir bulan Oktober, saya diundang oleh Aulia Fitri, pengelola Komunitas @iloveaceh untuk hadir pada malam acara peringatan Sanger Day. Saya berkesempatan hadir berbaur dengan puluhan pengunjung yang umumnya dari kalangan pemuda. Acara itu berlangsung di Parkiran Pasar Aceh, Sabtu Malam, (31/10/2015). Saya tertarik datang karena pengunjung akan memakai ijakrong semua, saya ingin merasakan suasana yang berbeda itu. Ternyata, malam itu hanya sekitar 10 orang saja yang benar-benar memakai ijakrong.

Perigatan Sanger Day malam ini yang ke tiga kalinya dilaksanakan sejak pertama kali pada tahun 2013. Sanger Day digagas pertama kali Fahmi Yunus dengan hestek #SangerDay di twitter pada tanggal 12 Oktober 2013. Hestek itu diikuti oleh banyak orang setelah diretwet oleh akun @iloveaceh dan mendapat respon dari nitizen.

Fahmi Yunus pada pengantarnya di peringatan Malam Puncak Sanger Day menyebutkan, Sanger dikenal akrab di Warung Kopi Atlanta, Ulee Kareng, era tahun 1997. Sanger berarti Sama-Sama Ngerti. Kala itu pengunjung Atlanta umumnya dari kalangan mahasiswa. Tahun itu masa krisis moneter. Karena mahasiswa ingin minum kopi susu tapi harga yang sulit dijangkau apalagi akhir bulan. Maka bagi mahasiswa yang ingin minum kopi dengan ada rasa susu sedikit, terjadilah negosiasi antara mahasiwa dan warkop dengan membuat kopi sedikit susu. Munculnya istilah Sanger, sama-sama ngerti antara penikmat kopi dengan warkop. Sanger berbeda dengan kopi susu.

Di kampung saya, Kutablang Bireuen, tidak ada istilah Sanger. Kami mengenal kupi stel, kupi yang distel dengan susu sedikit. Rasa masih terasa pahitnya. Tapi ini ngak disebut kopi susu. Tetap disebut; kopi stel. Kupi Stel dibuat dengan campuran susu sedikit yang dituangkan, harga tetap dihitung harga kopi biasa. Gulanya dikurangi. Tetapi rasanya berbeda dengan Sanger.

Sanger Day malam itu diperingati dengan hidangan sanger dan timphan kepada pengunjung sambil mendengarkan musik dari dua band lokal. Mereka membawa lagu-lagu milik band dari Jakarta. Tak ada sesuatu yang beda. Hanya satu lagu kreatif mereka yang nyanyikan lagu mars iloveaceh. Selebihnya saya seperti mendengar musik dari kaset biasa.

Saya tidak melihat ada sesuatu yang beda dari penampilang mereka. Jika panitia mengajak pengunjung untuk memakai kain sarung, hal itu tidak berlaku pada personel pemusik malam itu. Mereka tetap memakai celana jeans. Mestinya jika memang ingin membikin acara itu berbeda, alangkah indahnya para pemusik itu juga memakai kain sarung.

Sarung sudah jadi bagian identitas masyarakat Aceh dan Indonesia. Saya teringat cerita lelucon tentang dua pemuda yang memakai kain sarung saat berjalan menuju ke masjid. Satu pemuda adalah kader Nahdlatul Ulama dan satu lagi pemuda kader Muhammadiyah. Duanya memakai baju koko dan memakai peci hitam. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui identitas keduanya? Menurut ahlus periwayat kisah ini, jika ingin mengetahui perbedaan keduanya, maka kita datangi mereka. Lalu sibakkan kain sarung kedua ke atas; jika pemuda itu tidak memakai celana dalam, itu pemuda NU, kalau memakai celana dalam, itu adalah pemuda Muhammadiyah. Pemuda NU kerap berasal dari kalangan pesantren. Bagi yang pernah mondok, akan paham kenapa santri jarang memakai celana dalam.

Negeri Arab, saya pernah mendengar cerita dari teman yang kuliah sana. Lelaki memakai kain sarung identik dengan lelaki pengantin baru yang sedang atau akan melaksanakan malam pertama. Ini soal budaya tentu saja yang tak perlu diperdebatkan. Bagi budaya kita, kain sarung tak selamanya juga digunakan sebagai alat untuk beribadah. Ia bisa berfungsi ganda sebagai alat untuk tidur. Jika pagi-pagi, masa zaman dulu kala saat kakus masih seluas jagat raya. Kain sarung juga berfungsi untuk menutup tubuh saat buang hajat di sungai.

Bagi kaum muda yang masih lajang, memakai kain sarung saat jalan bersama teman wanitanya adalah sebuah tips agar terhindar dari razia petugas syariah, pasangan itu akan dikira telah menikah. Pacaran ala syariah. Eh, tetapi saya tak bertanggung jawab jika kalian lakukan tips buruk ini.

Peringatan sanger day malam itu adalah bagian dari mengenalkan identitas Aceh kepada masyarakat urban kota Banda Aceh. Tradisi minum sanger + pajoh timphan + ijakrong adalah bagian dari identitas Aceh yang mesti terus digalakkan sebagai bagian dari warisan budaya. Mungkin saja masa akan datang, akan ada peringatan Hari Ijakrong Nasional sebagaimana Hari Batik Nasional.

[tulisan ini telah dipublis juga di acehtrend.co, 2 November 2015]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis