Saya, Mak dan Toga

Wisuda Unsyiah, Mei 2010 | Abang, Kakak, Mak dan Saya
Waktu masih sebagai mahasiswa akhir, saya pernah menulis sebuah puisi, tahun 2009. Saat itu dimana masa studi saya di Jurusan Teknik Mesin Unsyiah dalam kondisi kritis terancam droup out (DO). Jelang tengah malam, sekitaran jam 03.00 di Laboratorium Gambar Jurusan Teknik Mesin, saya duduk di sebuah bangku beton diluar gedung. Tengah malam jula tepatnya, sunyi begitu terasa. Suara anjing melonglong di belakang kampus jelas sekali terdengar.  Kawan-kawan saya yang juga bernasib sama sedang asyik main game online, umumnya mereka main game poker, judi-judian tidak jelas,  seorang asyik menonton film di laptop.

Saya bergerak keluar ruang, duduk sendiri merenung bagaimana raut wajah Mak, kalau seandainya saya tidak bisa menyelesaikan kuliah strata satu di Fakultas Teknik Unsyiah. Malam itu, tiba tiba pikiran saya melayang jauh puluhan ribu meter ke kampung saya di Kutablang, Bireuen. Terbayang wajah Mak saya dengan deru nafasnya ketika sedang istirahat malam, setelah seharian bergelut dengan lelah di sawah. Sebuah pertanyaan terlintas kemudian; Apa perasaan Mak saya kalau saya DO di kampus ini? 

Saya tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Hingga kemudian saya menulis sebuah puisi; Ibu, Maaf Saya Belum Sarjana. Puisi itu kemudian dimuat di tabloid DeTAK Unsyiah. Sebuah koran cetak terbitan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers  Unsyiah. Saya beranikan puisi itu dibaca oleh orang banyak, betapa kerinduan saya melihat senyum manis di wajah Mak ketika dia melihat saya, pakai baju toga!
Puisi itu menjadi inspirasi saya, teringat nasihat kawan seangkatan yang telah duluan wisuda, ia memberi semangat kepada saya dalam motivasi selesaikan kuliah. ia katakan lebih kurang begini; kalau semangat itu hilang, pejamkan matamu dan bayangkan ibumu dikampung.

Kalimat itu benar benar mengena dalam pikiran saya. Bagaimana tidak, ibu saya jadi orang tua tunggal. Waled -panggilan untuk Ayah- saya meninggal pada Maret 1999, waktu itu saya masih kelas satu SMA. Saya kemudian mempraktekkan kalimat yang disampaikan oleh kawan saya tersebut. Saya pejamkan mata, saya bayangkan bagaimana Mak saya yang sedang menepis keringat di dahinya kala bekerja di sawah. Ditengah terik mentari yang saban hari selalu setia menyinari para petani. Air mata saya perlahan jatuh lembut perlahan membasahi pipi, saya biarkan itu terjadi. Saya menikmati sekali masa-masa itu. 

Mak saya orangnya sangat keras kepala dalam mendidik anak-anaknya. di Kampung, sudah jadi tabiat yang kurang baik kalau anak yatim sepeninggal Ayahnya akan berubah karakter jadi nakal. Bandel dan sulit diatur. Apalagi dengan kondisi kenakalan kami anak-anak kampung, ada saja tingkah kenakalannya. 

Kami keluarga besar, saya 7 bersaudara. Saya anak ke-4 dari 5 lelaki, dan 3 perempuan anak-anak Mak, sayalah yang termasuk paling bandel diantaranya. Ibu saya yang keras kepala membuat kami jarang berani melawan perintah dan didikannya. Entah kenapa, ada saja trik dan cara Mak saya dalam mendidik kami. Jujur harus saya katakan, saya paling takut sama Mak. Cara Mak saya dalam mendidik itu luar biasa, ada saja akalnya hingga membuat kami �ketakutan� tak berani melawan perintahnya. Ini akan saya jelaskan diakhir catatan harian konyol ini.

Tipe kepemimpinan Mak saya yang keras kepala menjadikan kami bukan karakter anak-anak cengeng, manja dan sering mengeluh atau meminta banyak hal. Satu hal yang selalu membuat saya terharu dan bangga pada Mak adalah, Mak tidak pernah menahan segala keperluan kami untuk pendidikan. CATAT: untuk Pendidikan! Dia rela mengupah pada sawah orang lain untuk membiayai kami sekolah. Dia selalu dukung kami dalam hal sekolah.

Puisi itu kemudian banyak dibicarakan oleh kawan-kawan setelah saya wisuda. Adik-adik angkatan di kampus yang membaca puisi itu kemudian melemparkan sebuah guyonan kalau puisi itu sudah bisa diubah judulnya, bersebab saya telah wisuda pada Mei 2010. Tapi itu sebuah fakta sejarah dalam hidup saya yang ribet dan telah saya lalui. Ada bahkan yang menjadikan puisi itu musikalisasi dan dipentaskan di kampusnya dalam sebuah acara. Saya tersenyum. Bagaimana sebuah puisi itu jadi inspirasi bagi adik-adik mahasiswa.

Untuk teman-teman mahasiswa yang sedang resah dan gelisah karena skripsi tak selesai di kampus, semoga puisi itu jadi barang penyemangat bagi kita semua. Merdeka! []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis