Sebuah Kenangan di Kampus
sumber: [Harian Serambi Indonesia, Minggu (23/05/2010)]
Sekejab selepas Samir melintas di pintu gerbang masuk kampus Darusalam ketika dalam sebuah tugas penataran guru sastra se-Aceh, di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Samping Kampung, ia masih saja hidup sebagai bujang tanpa menikahi seorang gadis perawan. Aku tau dari status Kartu Tanda Penduduknya tertulis jelas; Belum Kawin. Dua hari disana pikirannya terus saja mengulang kemasa silam sepuluh tahun yang lalu.
Sebuah kenangan yang patut diingat kembali pada masa indah nan bahagia itu. Berbilang hari di Darussalam, Samir perjaka tua ting-ting sesekali tersenyum kecil ketika pernah sekali waktu ia mengajak Nurol untuk berbonceng Honda C-70 miliknya untuk pulang bersamaan dengan Nurol yang tak seberapa jauh dari rumah kost Samir. Selepas jam kuliah siang itu.
Udara panas kacau balau bukan alang bersebab kota tua gersang tanpa ada lagi pohon pohon dipinggir jalan raya. Para serdadu Satuan Polisi Pura-Pura telah memangkasnya dengan alasan untuk memperindah wajah kota milik si Walikota Gila Toko. Sedang kabar yang terdengar sang penguasa kota ini sibuk membangun gedung-gedung berlantai dua tiga berjejer deretan ruko sepanjang jalan utama. Biar terlihat oleh pendatang dari Kampung Utara-Selatan penjuru angin mirip kota yang sudah maju. Begitu kabar yang terdengar dari koran-koran harian.
Sekali waktu dulunya semasa saat-saat ia duduk di bangku-bangku busuk di kampus, Samir mahasiswa tak bisa melepaskan segala kenangan pada kawan-kawannya senasib saat tahan lapar ketika kalender bulan memasuki hari hari akhir. Siang yang sepi itu ia sengaja melintas melewati Taman Baca disamping Pustaka Induk. Sampailah ia disitu menatap tempat dudukan batang pohon kelapa yang dibuat sedemikian rupa.
Seperti ia melihat sosok perempuan berjilbab lebar menyapanya dalam senyum malu-malu bagai ayam mematuk-matuk padi di tangan sang pemiliknya. Samir tersipu malu-malu dalam bayang-bayang pohon asam disiang kala itu. Sesekali ia mengintip nakal kearah perempuan yang bernama jelas Nurol Hayati Binti Syamaun. Samir pura pura membuka buku yang baru saja ia pinjam dari pustaka. Membuka lembaran-lembaran seakan-akan seolah-olah ia sedang mempelajari sesuatu hal penting tentang mata kuliah. Sedang ia tau, Nurol juga sedang lirik-lirik kecil sedikit malu-malu menatap wajah Samir yang bak Syah Ruch Khan sang aktor film India yang tak seberapa terkenal itu.
Hari itu memang selepas penataran, Samir sengaja ketempat yang kuceritakan tadi. Ia tersenyum kecil tak habis pikir sampai ditempat itu.
�Ah, kau memang perempuan yang lembut hati, Nurol. Selembut dan seputih kapas yang ditiup angin� Gumamnya dalam hati. Ia lagi-lagi tersenyum sendiri.
�Tapi sayang, kau telah bersuami dengan Suman yang tak lain adalah sabahatku dulunya di kampus. Beruntung dia memper-istrikanmu. Dia memang lebih dulu mapan tentang hidup dalam manatap kehidupan bersuami istri. Itu juga yang jadi kebanggaan Bundamu�
Terlintas dalam benak Samir kala itu tentang dulunya saat dia melamar Nurol. Kenapa para orang tua lebih menghadiahkan anak perempuannya untuk lelaki yang sudah punya Nomor Induk Pegawai. Sedang Samir kala itu masih seorang Guru Honorer yang setiap tiga bulan sekali dibayar gajinya. Itupun setelah dipotong dengan berbagai alasan untuk kepentingan uang minum orang kantor dinas kecamatan. Negeri kita memang semakin buruk perangainya.
Suara azan menggema dari Mesjid Jamik Kampus. Senja perlahan turun menandakan malam akan datang dalam gelap. Jika malam tiba, kota ini sering sekali listriknya malas menyala. Samir bangkit dari tempat lamunannya dengan wajah lesu tak bergairah bagai orang sehabis kalah dari sabung ayam. Dalam hatinya ia ingin berdoa selesai shalat magrib itu.
�Semoga Nurol menjadi seorang janda. Aku masih menunggunya sampai kumis ini memutih�
Suara azan terputus tak lagi terdengar membesar dari toa mesjid. Mesin PLN memang tak mengenal suara azan. Kalau sudah waktunya dipadamkan, tanpa menunggu selesai suara azan akan dipadamkan juga. Ah, kampung kita sekarang memang tak jauh beda sewaktu dijajah Belanda. Batin Samir sambil mempelorotkan celananya sampai ke lutut.[]
Darussalam, 4 Mei 2010
Sekejab selepas Samir melintas di pintu gerbang masuk kampus Darusalam ketika dalam sebuah tugas penataran guru sastra se-Aceh, di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Samping Kampung, ia masih saja hidup sebagai bujang tanpa menikahi seorang gadis perawan. Aku tau dari status Kartu Tanda Penduduknya tertulis jelas; Belum Kawin. Dua hari disana pikirannya terus saja mengulang kemasa silam sepuluh tahun yang lalu.
Sebuah kenangan yang patut diingat kembali pada masa indah nan bahagia itu. Berbilang hari di Darussalam, Samir perjaka tua ting-ting sesekali tersenyum kecil ketika pernah sekali waktu ia mengajak Nurol untuk berbonceng Honda C-70 miliknya untuk pulang bersamaan dengan Nurol yang tak seberapa jauh dari rumah kost Samir. Selepas jam kuliah siang itu.
Udara panas kacau balau bukan alang bersebab kota tua gersang tanpa ada lagi pohon pohon dipinggir jalan raya. Para serdadu Satuan Polisi Pura-Pura telah memangkasnya dengan alasan untuk memperindah wajah kota milik si Walikota Gila Toko. Sedang kabar yang terdengar sang penguasa kota ini sibuk membangun gedung-gedung berlantai dua tiga berjejer deretan ruko sepanjang jalan utama. Biar terlihat oleh pendatang dari Kampung Utara-Selatan penjuru angin mirip kota yang sudah maju. Begitu kabar yang terdengar dari koran-koran harian.
Sekali waktu dulunya semasa saat-saat ia duduk di bangku-bangku busuk di kampus, Samir mahasiswa tak bisa melepaskan segala kenangan pada kawan-kawannya senasib saat tahan lapar ketika kalender bulan memasuki hari hari akhir. Siang yang sepi itu ia sengaja melintas melewati Taman Baca disamping Pustaka Induk. Sampailah ia disitu menatap tempat dudukan batang pohon kelapa yang dibuat sedemikian rupa.
Seperti ia melihat sosok perempuan berjilbab lebar menyapanya dalam senyum malu-malu bagai ayam mematuk-matuk padi di tangan sang pemiliknya. Samir tersipu malu-malu dalam bayang-bayang pohon asam disiang kala itu. Sesekali ia mengintip nakal kearah perempuan yang bernama jelas Nurol Hayati Binti Syamaun. Samir pura pura membuka buku yang baru saja ia pinjam dari pustaka. Membuka lembaran-lembaran seakan-akan seolah-olah ia sedang mempelajari sesuatu hal penting tentang mata kuliah. Sedang ia tau, Nurol juga sedang lirik-lirik kecil sedikit malu-malu menatap wajah Samir yang bak Syah Ruch Khan sang aktor film India yang tak seberapa terkenal itu.
Hari itu memang selepas penataran, Samir sengaja ketempat yang kuceritakan tadi. Ia tersenyum kecil tak habis pikir sampai ditempat itu.
�Ah, kau memang perempuan yang lembut hati, Nurol. Selembut dan seputih kapas yang ditiup angin� Gumamnya dalam hati. Ia lagi-lagi tersenyum sendiri.
�Tapi sayang, kau telah bersuami dengan Suman yang tak lain adalah sabahatku dulunya di kampus. Beruntung dia memper-istrikanmu. Dia memang lebih dulu mapan tentang hidup dalam manatap kehidupan bersuami istri. Itu juga yang jadi kebanggaan Bundamu�
Terlintas dalam benak Samir kala itu tentang dulunya saat dia melamar Nurol. Kenapa para orang tua lebih menghadiahkan anak perempuannya untuk lelaki yang sudah punya Nomor Induk Pegawai. Sedang Samir kala itu masih seorang Guru Honorer yang setiap tiga bulan sekali dibayar gajinya. Itupun setelah dipotong dengan berbagai alasan untuk kepentingan uang minum orang kantor dinas kecamatan. Negeri kita memang semakin buruk perangainya.
Suara azan menggema dari Mesjid Jamik Kampus. Senja perlahan turun menandakan malam akan datang dalam gelap. Jika malam tiba, kota ini sering sekali listriknya malas menyala. Samir bangkit dari tempat lamunannya dengan wajah lesu tak bergairah bagai orang sehabis kalah dari sabung ayam. Dalam hatinya ia ingin berdoa selesai shalat magrib itu.
�Semoga Nurol menjadi seorang janda. Aku masih menunggunya sampai kumis ini memutih�
Suara azan terputus tak lagi terdengar membesar dari toa mesjid. Mesin PLN memang tak mengenal suara azan. Kalau sudah waktunya dipadamkan, tanpa menunggu selesai suara azan akan dipadamkan juga. Ah, kampung kita sekarang memang tak jauh beda sewaktu dijajah Belanda. Batin Samir sambil mempelorotkan celananya sampai ke lutut.[]
Darussalam, 4 Mei 2010
Komentar
Posting Komentar