Untuk Apa Bioskop di Aceh!?

UPAYA Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menghadirkan kembali bioskop di Banda Aceh merupakan sebuah hal yang patut diapresiasi sebagai sebuah kemajuan bagi peradaban kalangan manusia pecinta film di Aceh. Sebelum tsunami, ada empat bioskop yang hadir di Banda Aceh, tetapi karena diterjang amuk air laut, bioskop bioskop tersebut kemudian beralih fungsi menjadi tempat lain yang jauh dari kepentingan bioskop.


Workshop Video Remaja di Episentrum Ulee Kareng | Ahmad Ariska | acehkita.com

Wacana Walikota Banda Aceh yang belum mendapatkan izin dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sebagai lembaga yang selama ini mengatur soal ummat yang menyeleweng dan jauh dari hal hal yang bersyariat. MPU Aceh berpendapat, bioskop merupakan ruang kerja baru terjadinya tindakan maksiat yang dilakukan oleh pengunjung bioskop yang kebanyakan dari kalangan anak muda-mudi yang belum menikah. Akan terjadi ruang tempat anak muda melakukan perbuatan yang melanggar syariat islam sebagaimana aturan yang berlaku di Aceh sejak tahun 2001.

M. Fauzan Febriansyah, seorang tokoh muda Aceh bahkan membuat petisi di situs www.change.com untuk menggalang dukungan dari semua kalangan akan kehadiran bioskop di Banda Aceh. Dalam petisi tersebut, Fauzan membuat judul: Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh: Dukung Pendirian Bioskop di Banda Aceh. Petisi yang digalang oleh Fauzan mendapat dukungan yang cukup luar biasa dari kalangan anak muda di Banda Aceh.

Lalu ada Rizki Alfi Syahril, pemuda Aceh yang sedang studi pascasarjana di Jogjakarta menulis artikel; Aceh Butuh Bioskop di www.cinemapoetica.com, sebuah situs yang berkonsentrasi pada kajian dan pengarsipan film. Rizki menyebutkan kondisi Aceh yang tidak memiliki bioskop menuai reaksi dari generasi muda Aceh dengan membuat grup di facebook �Aceh Butuh Bioskop�.

Episentrum Ulee Kareng, sebuah bioskop mini di Komunitas Tikar Pandan, telah berkali kali membuat festival film bagus dan bermutu baik film karya anak negeri dan luar negeri. Episentrum Ulee Kareng ini pernah membuat Festival Film Arab Aceh pada desember 2010 dan Desember 2011. Festival itu merupakan kerja-kerja kebudayaan untuk menjawab keresahan akan para penikmat film. Para filmmaker yang selama ini bergerak dalam produksi film film dokumenter di Aceh dapat termotivasi dengan adanya bioskop sebagai tempat mereka mengapresiasi akan karyanya.

Keinginan kawan-kawan muda pecinta film dapat mengakses rilis film dengan cepat tentunya menjadi alasan penting bagi pengambil kebijakan di Banda Aceh untuk menampung keinginan para penikmat film untuk hadirnya sebuah bioskop di Banda Aceh. Yakinlah kita bahwa, akan ada penonton yang berasal dan dekat akses dengan kotamadya Banda Aceh untuk menjadi pelanggan bioskop tersebut.

Selama ini jika ada film yang baru dirilis, para penikmat dan pecinta film di Aceh harus menunggu waktu berbulan-bulan untuk dapat menonton film tersebut dari CD bajakan yang beredar di pasaran, atau mereka harus mendapatkan film itu secara �haram� dari internet.

Saya tiba tiba teringat surat pembaca di koran cetak terbitan Aceh pada masa heboh hebohnya film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Ada seorang anak muda dari Banda Aceh harus membayar biaya mahal hanya karena ingin menonton film tersebut. Medan, kota di propinsi lain dari Aceh yang dekat dengan Banda Aceh dan tersedianya bioskop yang memutar film Ayat Ayat Cinta tersebut. Pemuda tersebut memilih perjalanan ke kota Medan. Dia harus mengelurkan biaya yang cukup besar tentunya hanya untuk keinginan menonton sebuah film berdurasi sekitar dua jam.


Membeli tiket pesawat pulang-pergi hanya untuk membayar keinginannya menonton film yang cukup fenomenal tersebut pada tahun 2009. Dia mesti sediakan uang mencapai 1 juta rupiah hanya untuk menikmati sebuah film, sebab di Banda Aceh bioskop dilarang hadir karena pemerintah kita masih berpegang: bioskop sebagai tempat orang orang melakukan maksiat. Benarkah demikian?

Salah Satu Bioskop jaman Dulu di Banda Aceh | foto internet

Solusinya Bioskop di Aceh
Jika alasan MPU tidak memberi izin bioskop hanya karena masalah terbukanya ruang ruang kerja maksiat di Banda Aceh, berarti yang salah adalah para pelaku maksiatnya, bukan malah melarang izin pendirian bioskop tersebut. Ada aturan main yang bisa diatur dengan kebijakan Walikota bagi pengelola bioskop dan pengunjung. Aturan teknis penonton yang mesti diatur dengan baik, tentunya.

Pemerintah bisa saja meminta pengelola bioskop untuk membuat aturan teknis bagi pengunjung. Kita misalkan aturan jadwal menonton, antara laki-laki dan perempuan yang masih melalui beda pintu misalnya. Atau aturan jadwal pada sore hari untuk pihak perempuan dan pada malam hari bioskop khusus untuk penonton laki laki. kalau aturan mainnya begini, dimana letak ruang maksiatnya? Kecuali ada kaum gay atau lesbi yang jadi penonton. Itu diluar jangkauan kita.

Pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh atau MPU dan Dinas Syariat Islam bisa melakukan seleksi ketat terhadap film-film yang memang layak putar di bioskop nantinya. Ada banyak film film inspiratif dan bermutu untuk bisa dijadikan sebagai tempat hiburan baru baru warga kota Banda Aceh dan Aceh umumnya. Tentunya kita pahami, film film yang sesuai dengan kondisi adat dan aturan yang berlaku di Aceh yang layak diputar. Tidak juga menjadikan dengan hadirnya film film bagus tersebut akan disimpulkan dapat merusak akidah dan aturan syariat islam yang sedang berlaku di Aceh. Harapan kita tentunya para pemangku kebijakan di Aceh dapat lebih jeli dalam melihat persoalan izin kehadiran kembali bioskop di Aceh.

Anak muda di Aceh sudah banyak membuat film-film dokumentar dengan segudang prestasi memenangkan lomba di tingkat nasional, ruang kerja kerja apresiasi mereka terhambat karena untuk promosi film karya pemuda Aceh tidak dapat dilakukan di Aceh dalam kapasitas utnuk menikmati sebuah film yang benar benar bermutu. Kalaupun mereka membuat tontonan bareng dengan memakai layar infokus, tentunya dengan segala kekuaran dalam hal tayangan gambar, suara dan lain-lain.

Hadirnya bioskop di Banda Aceh dapat menjadi ruang apresiasi bagi komunitas seni film yang selama ini melakukan kampanye kesadaran alam bawah sadar manusia melalui film. Sineas-sineas muda dari Komunitas Lam On Film misalnya yang selama ini kerap melakukan kerja kerja film dokumentar. Mereka akhirnya cuma bisa putar film dalam kapasitas penonton yang minim diruang kuliah atau warung warung kopi. Dengan kondisi fasilitas yang kurang memadai untuk memutar sebuah film dan dapat dinikmati dengan baik baik suara, gambar, dan ruangan.

Harapan kita ke depan, di Aceh akan ada Festival Film Aceh yang bisa menjadi sebuah daya darik bagi turis mancanegara ketika berkunjung ke Aceh, sebagaimana untuk menambah jumlah produksi pariwisata dalam mensukseskan Visit Aceh 2013. Festival Film Aceh ini akan diisi oleh produksi-produksi filmmaker di Aceh. Bukankan film merupakan saksi sejarah dan kehidupan sebuah peradaban masyarakat disuatu tempat? Kalau kita sepakat, kenapa ini tidak kita mulai tunjukkan kepada dunia, bahwa di Aceh pernah ada sebuah peradaban ummat islam yang beradab dalam menjalankan kehidupannya dan itu digambarkan melalui film. Maka bioskop adalah tempat awal mula kita mulai proses memkampanyekan kepada orang luar bahwa; Inilah Aceh, Nanggroe Syariat Islam!

[sumber: Tabloid ATJEH TIME-Edisi Maret 2013]









Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis