Aceh; Kali ini Soal Ngangkang


KETIKA isi pidato Suadi Yahya, Walikota Lhokseumawe pada malam pergantian tahun 2012 ke 2013 di Lapangan Hiraq Lhokseumawe heboh dimedia sehari seterusnya, saya membaca berita itu di media online  disebuah warung kopi. Rasa kopi dalam gelas saya tiba-tiba jadi pahit rasanya.


Pidato Suaidi Yahya malam itu akhirnya jadi pro-kontra muncuat ke publik setelah media nasional dan internasional memberitakan. Para tokoh dari berbagai profesi merasa penting dan tak penting jadi latah mengomentari soal wacana larangan duduk mengangkang bagi wanita ketika dibonceng dengan sepeda motor.


Banyak masyarakat yang pro terhadap kebijakan Walikota tersebut dan tidak juga sedikit yang kontra dengan edaran bersama yang ditandatangani oleh Walikota Lhokseumawe, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Lhokseumawe, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kotamadya (DPRK) Lhokseumawe dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) kota Lhokseumawe. Surat edaran/himbauan tersebut ditanda tangani secara bersama di Lhokseumawe pada Selasa Sore, 7 Januari 2013. Secara simbolis, surat edaran itu langsung ditempel disalah satu warung kopi di Lhokseumawe dengan diliput oleh berbagai media. Malamnya surat keramat itu kian jadi heboh dan langsung diketahui oleh publik seluruh dunia melalui pemberitaan media massa.

Membicarakan Aceh memang unik dan selalu menarik. Sayed Fuad Zakaria yang pernah jadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pernah menyebut; Aceh adalah modal dan model bagi republik ini. Satu contoh menarik ketika pembetukan Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) juga dibentuk atas inspirasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah(Bapeda) yang pertama kalinya seluruh Indonesia di bentuk di Propinsi Aceh. Cikal bakal PT. Garuda Indonesia didirikan juga atas sumbangan dari Rakyat Aceh ketika masa transisi setelah bangsa ini merdeka dulunya.

Saya menyalin kembali isi surat edaran tersebut sebagai pijakan tulisan ini nantinya. Surat edaran itu memakai kop pemerintah kotamadya Lhokseumawe. Berikut isi suratnya;

Untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya Pemerintah Kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka, maka dengan ini Pemerintah menghimbau kepada semua masyarakat di wilayah Kota Lhokseumawe, agar:

1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang), kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).

2. Di atas kendaraan baik sepada motor, mobil dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara-cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh;

3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat Islam dan tata kesopanan dalam berpakaian;

4. Kepada seluruh keuchik, imum mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swadaya, agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat.

Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe, Dasni Yuzar mengatakan, surat edaran tersebut mulai disosialisasikan kepada masyarakat tanggal 7 Januari 2013. Untuk tahap awal ini, ketentuan larangan itu khusus diwajibkan bagi pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Lhokseumawe.

Ini Ngak Tau Foto Editing Siapa. Mohon Izin |
Setelah saya membaca surat edaran tersebut, saya kemudian dapat mengambil kesimpulan bahwa, surat edaran itu tidak cuma mencakup pada larangan bagi wanita untuk mengangkan. Pada poin kedua surat edaran tersebut juga disebutka larang untuk bersikap tidak sopan semisal berpelukan, pegang-pegangan yang dapat melanggar syariat islam, serta melanggar etika adat dan budaya masyarakat Aceh.

Dulu di era tahun 90-an, ketika sepasang suami istri jalan kaki di jalan, maka posisi suami berada di depan diikuti oleh istrinya di belakang. Ini menunjukkan posisi suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga, pada masa itu, istri yang berjalan bergandengan tangan suami dianggap sebagai istri yang �melawan� suami di rumah. Pasangan itu akan malu ketika di lihat oleh warga lainnya bermesra-mesraan ketika sedang berjalan kaki. Sekarang kondisi itu masih dapat kita temukan di Aceh, tapi sangat sedikit, hanya terjadi pada pasangan kakek-nenek. Pasangan suami istri yang muda lebih memilih bermesra-mesraan ketika berjalan, ingin menunjukkan kepada orang orang bahwa mereka adalah pasangan yang romantis. Padahal ketika dirumah sering terjadi cek-cok.

Ini Himbauan, Bukan Qanun
Di Aceh, sejak diberlakukannya Undang-undang Pemerintah Aceh (UU-PA) tahun 2006 yang mengatur Pemerintahan Propinsi Aceh sebagai pengganti Undang-undang otonomi Khusus. UU-PA merupakan amanat dari isi nota kesepahaman MoU Helshinki yang ditandatangani  Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) demi penyelesain secara damai konflik panjang di Ace.

Dalam aturan itu, pemerintah Aceh diberi ruang untuk mengatur berbagai persoalan aturan teknis lainya yang berkenaan dengan peraturan daerah baik ditingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Di Aceh, Peraturan Daerah(perda) di sebut dengan Qanun[] | Banda Aceh, 2 Juni 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis