Gampong Saya, Jauh Sekali!

Opini Harian Aceh, Akhir Tahun 2008 |
Boleh disebut saya termasuk seorang yang beruntung terlahir sebagai anak dari gampong. Gampong sejuk dengan tatanan sosial masyarakatnya yang sangat santun dan bermoral dalam berinteraksi sesama. Rasa kepekaan terhadap segala permasalahan sosial seperti pada umumnya gampong-gampong di Aceh lainnya. Menulis gampong, pikiran saya tidak terlepas dari kenangan masa kecil saat bersama teman-teman sebaya.
Mencari ikan di sawah dan bermain layang-layang pasca musim panen padi  tiba adalah hal yang tak bisa dilupakan. Bermain bola di lapangan kebun kelapa ketika sore hari selepas mandi di sungai Krueng Peusangan yang airnya sangat jernih itu, adalah sederet kenangan yang ikut membentuk karakteristik kehidupan saya hingga beranjak dewasa saat ini.
Gampong saya juga sama seperti gampong-gampong  di Aceh lainnya. Lebih beruntung jika sebelah timur di batasi dengan Krueng Peusangan, sebelah barat daya sebagai areal persawahan yang cukup luas. Masyarakat yang mendiamai kampung saya kebayakan berprofesi sebagai petani sekaligus peternak sapi. Disamping ada yang bergelut sebagai pedagang dan satu dua orang sebagai Pegawai Negeri Sipil, selebihnya adalah wiraswasta yang tak jelas kadang-kadang mata pencahariannya, sebagai pemanjat kelapa atau kuli tambang pasir di sungai Krueng Peusangan.

Saya lahir di desa Pulo Reudeup, 20 Kilometer arah timur kota kabupaten Bireuen. Pulo Reudeup berada di kecamatan Kutablang. Sebuah kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan induknya, Gandapura. Untuk sampai ke gampong Pulo Reudeup tidaklah terlalu sulit, dari jalan Medan-Banda Aceh hanya berjarak sekitar 800 meter ke arah selatan sebelum sungai Peusangan. Tepatnya di titi jembatan kutablang ke arah sebelah kiri. Jika menuju ke kota kecamatan maka jalurnya mencapai 1.5 kilometer lebih. Namun, kedekatan jarak ke jalan nasional tidak membuat gampong saya boleh disebut maju. Artinya, jika kita lihat dari sosial kehidupan masyarakatnya yang masih hidup dalam serba berkesusahan dalam bidang ekonomi mereka masih dikatakan sebagai pencari bambu beras sehari-sehari.  

Pembangunan jalan desa yang masih jalan-jalan berbatu dan berlubang. Kalau meunasah juga masih berbentuk rumah panggung. Pakah ini perlu dipertahankan? Dari segi pendidikan misalnya, di mana di gampong saya tidak memiliki satupun Sekolah Dasar (SD) apalagi Sekolah Menengah  Atas( SMA). Tahun 2003 Gampong saya baru dibangun sebuah lembaga pendidikan islam, Dayah Nurussyabab yang cikal-bakalnya hasil inisiatif seorang pemuda desa lalu kemudian dibantu oleh masyarakat gampong.

Jika ada anak-anak gampong saya yang ingin bersekolah, mereka harus bersekolah di kota kecamatan. Tentu saja tidak heran hingga saat ini masih banyak  orang dikampung saya hanya tamatan Sekolah Menengah Tingkat Pertama(SLTP). Ada banyak alasan mereka tidak mau sekolah tinggi-tinggi. Kadang mereka menyebut; untuk apa sekolah tinggi sekali, sebab semua jabatan mulia dari Geuchik sampai Presiden sudah ada orang lain. ini alasan klasik disamping pengaruh anak-anak setingkat SLTP yang sudah menjadi kuli tambang pasir di gampong tetangga, Tingkeum Baroe mencari uang sendiri. Alasan klasik memang, hingga ketika kita lihat sekarang ini sangat jarang sekali ada anak-anak desa kami yang menempuh pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Baru pada tahun 2005 anak-anak tamatan SMA yang melanjutkan ke Universitas Al-Muslim Matan Glumpang Dua yang berjarak 7 kilometer ke arah kota Bireuen.
Saya termasuk orang yang beruntung terlahir dari seorang Ayah yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar di kota kecamatan, hingga inilah alasan saya mengapa bisa menempuh pendidikan ke Universitas Syiah Kuala seperti sekarang ini. Inilah yang saya sebut, gampong saya jauh sekali.

Secaraantropologis, semua orang Aceh merupakan masyarakat sosial keagamaan. Profesor M. Hakim Nya� Pha (1998) menyebutkan bahwa sebagai masyarakat teritorial keagamaan di Aceh, kehidupan keluarga di Aceh yang bersifat parental dan dalam hal-hal tertentu bersifat bilateral, mendiami suatu wilayah yang disebut gampong dan kehidupannya berkisar pada Meunasah atau masjid.

Meunasah bukan hanya sebagai tempat melakukan ritual keagamaan semata. Semua meunasah di Aceh berfungsi ganda. Sebagai tempat pertemuan perangkat gampong dalam melakukan konsolidasi kemasyarakatan gampong dan sebagai tempat untuk mengambil segala keputusan musyawarah yang berkenaan dengan pembangunan/kemajuan desa. Kadang kala meunasah juga dijadikan sebagai tempat Pos Pelayan Terpadu (Posyandu) dari pihak puskesmas kecamatan untuk memberikan penyuluhan kesehatan bagi masyarakat gampong tersebut.

Jika saja meunasah sebagai lembaga, dalam arti tempat beraktivitas keagamaan dan sosial, maka lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang cukup besar peranan dalam membantu pelaksanaan pemerintahan. Mengingat lembaga ini sangat dekat kultur dan tata kehidupan masyarakat adat gampong.

Meunasah sebagai tempat kedaulatan dan demokrasi yang berlangsung di tingkat gampong, benar-benar dilaksanakan(misalnya pada saat pemilihan Geuchik, Pilkada, dan Pemilu). Dalam gampong dikenal dengan musyawarah mufakat, yakni segala persoalan diselesaikan secara pertukaran pendapat secara beramai-ramai dengan masyarakat yang mendiamai gampong itu. Ini terjadi di Meunasah.

Snouck Hurgrunje, menyebut meunasah punya pengertian sendiri, yakni sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat menginap bagi kaum pria yang sudah aqil balighserta pria gampong lain yang singgah di gampong itu. Tapi kondisi seperti ini sudah sangat jarang terjadi di gampong-gampong di Aceh saat ini. Begitu juga dengan gampong saya.

Dalam hal ini, meunasah sebagai sarana masyarakat gampong menjalankan roda pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan  meunasah menggambarkan ciri khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak dapat disebut gampong, (Iskandar A. Gani, 1998) bagaimana dengan kondisi sekarang ini di Aceh?

Di gampong terdapat beberapa lembaga adat yang sifatnya sangat profesional dalam mengelola pemerintahan gampong. Lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Aceh adalah: Tuha Peut, Imum Meunasah, Tuha lapan, Keujruen Blang, Panglima Laot, Peutua Seuneubok, Haria Peukan, Syahbanda dan lembaga-lembaga adat yang disebut dengan nama lain, (Pasal 2 ayat 1 dan 2, Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat). Lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Gampong tempat saya lahir dan dibesarkan memiliki lembaga adat seperti itu hingga sekarang masih berjalan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Sekali waktu saya berpikir bahwa kehidupan gampong sangat indah dan menyenangkan sekali dibandingkan dengan tatanan kehidupan sosial masyarakat kota-kota besar, di mana rasa kepekaan masyarakat sesama yang tidak memperdulikan satu sama lain.

Pembangunan pendidikan di gampong saya masih sangat minim sekali, awalnya ketika saya kuliah di Unsyiah saya sempat berpikir seandainya di gampong saya dibangun sebuah pustaka mini dengan fasilitas internet di dalamnya. Anak-anak desa dapat termotivasi dengan melihat dunia luar yang sudah sangat maju dari daerahnya. ini semestinya menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Aceh untuk memikirkan masalah ini. Bayangkan andai semua anak-anak gampong duduk membaca buku dipustaka gampong sehabis pulang sekolah dan dapat melakukan kreativitasnya sebagai anak-anak yang beranjak remaja penerus generasi Aceh di masa yang akan datang. Anak-anak yang dapat menentukan jalan pikirannya masing-masing dengan membaca tanpa terpengaruh dengan media siaran televisi yang sangat meresahkan masyarakat kita dewasa ini. Tapi sekarang, gampong saya masih jauh sekali dari hal itu! Dan saya sangat menginginkannya ini terjadi di gampong yang telah membesarkan saya seperti saat ini. Semoga bisa.[]



Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis