KTP Merah Putih dan Hari Pancasila
Sabtu, 1 Juni 2013 ketika ada banyak orang menulis di media sosial tentang hari lahir pancasila, saya kemudian teringat dengan kondisi Aceh era tahun 2003, dimana Aceh sejak 19 Mei 2003 ditetapkan sebagai daerah Darurat Militer (DM) oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Saat itu Menko Polhukam Susilo Bambang Yudhoyono. Hari-hari selanjutnya rakyat Aceh harus menggantikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berbeda dengan daerah provinsi lainnya di Indonesia. KTP khas merah putih lengkap dengan pancasila disebelah identitas si pemiliknya.
foto by tengku-muda.com
Untuk mengurus KTP Merah Putih (MP) harus melalui proses yang panjang dan rumit. Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD), yang waktu itu di jabat oleh Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Endang Suwarya. Posisi Gubernur Aceh berada dibawah kendali/komando PDMD tersebut. PDMD ingin membedakan orang-orang di Aceh yang terlibat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan memberlakukan semua penduduk yang tinggal dan hidup di Aceh harus memiliki KTP Merah Putih. Proses peralihan dari KTP nasional ke KTP Merah Putih akan dilalui dengan antrian panjang dan rumit hanya untuk mendapatkan �surat keramat� tersebut.
Saya masih ingat betul kala itu, untuk mengurus KTP Merah Putih, pertama harus didapatkan surat rekomendasi dari Geuchik (Kepala Desa), lalu surat tersebut dibawa ke kantor Polisi Sektor (Polsek). Untuk mendapatkan tanda tangan dari Kapolsek ada banyak hal dilalui dengan serangkaian �interogasi� panjang, ada yang disuruh hafal sila pancasila, menyanyi lagu Indonesia Raya dan lainnya tentang ke-Indonesiaan. Kadang juga bila calon pemilik KTP merah putih tersebut, merupakan orang yang dicari oleh Pemerintah RI, diduga terlibat dengan jaringan GAM, maka siap siap saja diintrogasi lebih lama dan jauh.
Setelah rekomendasi dari Polsek, baru di bawa ke Koramil untuk mendapatkan pengesahan dari Komadan Rayon Militer (Koramil) setempat, disini juga berlaku kejadian yang hampir sama, ditanya ini itu, dicurigai terlibat GAM, pekerjaan sehari hari dan lain sebagainya. Penduduk yang nama atau wajahnya mirip dengan DPO Polsek dan Koramil, maka akan melalui serangkaian proses yang lebih lama dan lebih rumit, ada yang kemudian ditangkap, karena didugas terlibat membantu perjuangan GAM.
Setelah mendapat tanda tangan dan stempel Koramil, baru lah KTP MP itu dibawa ke kantor camat, disini tidak terlalu rumit, tetapi tetap harus melalui antrian yang begitu panjang, sama juga sewaktu di Kapolsek dan Koramil. Setelah mendapatkan legelitas dari Kapolsek, Koramil, dan Camat, barulah KTP Merah Putih sah digunakan untuk sehari hari.
Memiliki KTP Merah Putih merupakan sebuah surat keramat yang cukup berarti bagi penduduk yang tinggal di Aceh kala itu. Setiap hari ada saja razia/sweeping aparat keamanan, baik di jalan raya atau mereka yang datang ke rumah penduduk. Aparat keamanan setiap harinya melakukan penyisiran tempat-tempat yang dicurigai �daerah hitam.� KTP MP begitu pentingnya, kalau tidak ada KTP MP maka akan dicap sebagai GAM dan pemberontak. Karena GAM sulit mengurus KTP Merah Putih sebab daftar orang orang yang terlibat GAM sudah ada disemua tempat pos-pos aparat keamanan di Aceh. Tetapi ada juga GAM yang bisa mendapatkan KTP MP dengan berbagai cara. Uang saja dipalsukan, apalagi yang ini.
Di KTP Merah Putih tersebut, ukurannya seperempat kertas A4. KTP tersebut berwarna merah putih, disebelah warna merah putih itu dicantumkan pancasila lengkap dengan 5 sila. Sebelahnya baru identitas si pemilik KTP seperti biasa, cuma yang bedanya adalah ada tanda tangan Kapolsek, Koramil, dan Camat. Kalau sebelum Darurat Militer, kan cuma ditanda tangan dan stempel oleh Camat saja.
Hari ini 1 Juni yang diperingati sebagai hari kelahiran pancasila yang lahir pada 1 Juni 1945. Saya kemudian jagi ingat bagaimana kami di Aceh dipaksakan menyebut sila pancasila setiap ada razia dan atau sewaktu bertemu aparat keamanan. Mungkin tiap malam/hari waktu Darurat Militer Aceh, dibariskan di pos jaga desa, disuruh hafal pancasila!
Ingat KTP Merah Putih? Disitu jelas dituliskan sila-sila pancasila, agar orang Aceh paham pancasila, itu bentuk doktrin pemerintah RI terhadap penduduk sipil di daerah Darurat Militer. Ditambah lagi dengan apel setia terhadap NKRI melalui upacara bendera menaikkan Bendera Merah Putih. Aceh benar benar jadi tempat yang menyeramkan dari berbagai aspek kehidupan kala itu.
Saya pernah kena popor senjata M-16 dari BKO TNI dua kali diperut dalam sebuah perjalanan ke Banda Aceh, karena gugul dan lupa urutan sila pancasila waktu razia di jalan raya, saya lupa sila ke-4 pancasila. Padahal jauh hari telah hafal berkali kali, dan juga telah hafal lagu Indonesia Raya. Setiap kena razia, orang-orang yang dicurigai GAM, akan diintrogasi habis habisan, ditanya macam macam, sudah pasti orang orang ketakutan bukan kepalang menghadapi kondisi ini. Darurat Militer dijadikan sebagai kampanye nasionalisme bagi penduduk Aceh, agar mereka tidak lagi mendukung perjuangan GAM.
Aceh jadi daerah yang mencekam, orang diculik dan ditembak dimana-mana, ada satu dua yang diproses dengan pengadilan, dibina, tetapi banyak juga yang dibinasakan. Istilah paling ngetren kala itu: �disekolahkan� (dihabisi).
Ketika 1 Juni hari ini jadi hari lahir pancasila, saya kemudian memaknai pancasila cuma sebagai ideologi negara biasa saja. Ketika banyaknya pejabat, pemerintah, para politisi di RI ini mengagung agungkan pancasila, mereka juga ada yang benyak menghina sila sila dari pancasila tersebut. Penghinaan itu berupa prilaku mereka yang korup, tidak amanah sebagai pemimpin, mengkhianati kepercayaan rakyat, menghina rakyat dengan terus mencuri uang negara tanpa beban moral dan merasa bertanggung jawab. Apakah ini tidak disebut sebagai pengkhianatan terhadap sila sila dari pancasila?
Aceh yang hari ini sudah damai sejak 15 Agustus 2005, dimana KTP merah Putih juga telah beralih ke KTP nasional seperti didaerah lainnya. Dan ini merupakan sebuah proses demokrasi yang begitu panjang, damai yang kemudian harus dibayar dengan begitu banyak korban dari puluhan tahun konflik bersenjata, begitu banyak korban jiwa dan harta benda.
Pancasila sebagai sebuah idiologi negara RI, mestinya jadi pijakan seluruh perangkat pejabat daerah di RI, untuk tidak menghina pancasila sebagai falsafah negara RI. Sederhananya begini, kalau mereka korupsi, kalau mereka mencuri uang rakyat, artinya mereka telah mengkhianati pancasila. Dalam sila ke-5: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lalu apakah hari ini semua perangkat pemerintah telah berlaku adil bagi seluruh rakyat Indonesia?. Kalau belum, sudah seharusnya para pejabat dan penguasa di setiap daerah disuruh menghafal/memaknai arti dari falsafah pancasila dan diajari bagaimana untuk tidak �berkhianat� terhadap sila-sila pancasila. Agar mereka paham bagaimana seharusnya menjadi pejabat, menjadi pemimpin yang amanah dan sosialisme kerakyatan [Banda Aceh, 1 Juni 2013]
Komentar
Posting Komentar