Membangun Masyarakat Aceh Tangguh Bencana



Oleh: Muhadzdzier M. Salda
Hikmah dari bencana gempabumi disusul gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia khususnya dan bagi dunia international. Hikmah selanjutnya adalah bersatu padu seluruh ummat manusia tanpa pandang suku, ras, agama, pandangan politik membantu atas nama kemanusian demi selamatkan para korban yang masih hidup. Aceh kemudian menjadi perhatian dunia dengan berita tentang kerusakan yang begitu parah dan jumlah korban yang harus diselamatkan. Aceh ibarat laboratorium bencana alam tsunami bagi pada peneliti seluruh dunia pasca kejadian bencana dahsyat di pagi Minggu itu.

Tepatnya jam 8.00 pagi Minggu 26 Desember 2004 adalah hari dimana kematiaan massal semua makhluk hidup terjadi di Aceh dan beberapa negara tetangga Indonesia yang terkena imbas gelombang tsunami, kejadian itu terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Ratusan ribu nyawa melayang dan kehilangan harta benda serta kerusakan semua asset ummat manusia disapu tsunami dengan kecepatan gelombang mencapai sekitar 700 km/jam atau setara dengan kecepatan pesawat jet. Gempabumi dipagi Minggu itu berkekuatan 8,9 (SR) Skala Richter di kedalaman 30 km dasar laut sebelah Barat Daya Aceh. Tidak ada manusia yang percaya pagi itu ketika orang-orang pinggir laut berlarian sambil berteriak; Air laut naik...!, Air Laut Naik...!

Provinsi Aceh yang kala itu masih dalam status Status Darurat Sipil -dimana sejak 19 Mei 2003-19 Mei 2004, Aceh berstatus Darurat Militer- yang awalnya menjadi bagian provinsi asing tak boleh dikunjungi oleh wisatawan mancanegara secara sembarang. Akses media dalam pemberitaan juga dibatasi. Jurnalis tidak boleh sembarang memberitakan sumber berita dari pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dunia tidak dapat mengakses dan memantau dengan penuh kejadian apa yang sebenarnya terjadi di Aceh.

Provinsi ini jadi wilayah tertutup bagi media dan dunia international. Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) di bawah Komando Panglima Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda mempunyai wewenang yang cukup luas dalam memimpin Aceh, posisi Gubernur Aceh berada dibawah kekuasaan Pangdam. Tetapi karena persoalan rasa kemanusiaan, Aceh yang sebelumnya sebagai wilayah asing tak boleh dijamah sembarang orang tanpa izin PDMD menjadi terbuka dalam menerima relawan dan bantuan dari luar negeri. Semua pihak terbuka mata dan jalan pikirannya atas nama kemanusiaan.

Hikmah tsunami Aceh yang kedua adalah lahirnya aturan hukum dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; disusul beberapa Peraturan Pemerintah (PP) terhadap turunan Undang-undang pelaksanaan teknis tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam Penanggulangan Bencana; dan lahirnya Perpres Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Serta aturan Permendagri dan Kepala BNPB untuk pembentukan Badan Penanggulanang Bencana Daerah (BPBD) baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota seluruh Indonesia. Aturan hukum ini menjadi penting dalam paradigma penanggulangan bencana alam yang terjadi di Indonesia.

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam International Conference "Lessons from Indonesia's Experience in Reconstruction and Preparedness" yang diselenggarakan di Jakarta beberapa waktu. International Conference itu diadakan seiring berakhirnya program Multi Donor Fund (MDF) dan Java Reconstruction Fund (JFR) pada Desember 2012 lalu. Saat itu, Presiden Republik Indonesia, SBY menguraikan ada enam pelajaran penting yang dapat dipetik soal paradigma penanganan bencana alam di Indonesia (Kompas.com, 12 November 2012)

Pembelajaran pertama adalah pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam pengelolaan bencana. Kedua, pentingnya sharing informasi dan komunikasi publik yang cepat, akurat dan tepat. ketiga adalah pentingnya koordinasi pada seluruh tahapan penanggulangan, mulai respon tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Sementara keempat ialah pentingnya kepemimpinan. Kelima, pentingnya mekanisme pendanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi yang transparan, dan professional. Terakhir, kesiapsiagaan yang bertumpu pada kemampuan sumber daya manusia, partisipasi masyarakat, dan alat-alat penunjang, agar mitigasi bencana dapat dilakukan secara cepat dan maksimal. Keenam poin yang diungkapkan Presiden SBY tersebut dapat berjalan dengan baik seiring aturan hukum penanggulangan bencana yang sudah ditetapkan (kompas.com).

Bagi Indonesia, bencana besar yang dialami Indonesia telah mengubah paradigma pengelolaan bencana. Dari semula hanya berupa respon tanggap darurat yang kemudian diikuti dengan rekonstruksi dan rehabilitasi, kini ditambah dengan pengurangan risiko bencana, kata Presiden SBY. Jika sebelum gempa dan tsunami Aceh 2004, masalah penanganan bencana alam di Indonesia hanya fokus penanganan ketika bencana alam itu terjadi, yaitu pada masa tanggap darurat.

Pasca tsunami Aceh, paradigma pengelolaan bencana alam berubah seratus delapanpuluh derajat, dari semula bersifat responsif (tanggap darurat) ke arah upaya preventif (pengurangan risiko) dari bencana alam itu sendiri. Ini jadi poin yang sangat penting bagi Indonesia yang jadi negara rawan bencana alam. Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) cukup baik dalam pembangunan masyarakat tangguh Indonesia yang tangguh terhadap kejadian bencana alam ke depannya.

Aceh menjadi model dalam pembangunan daerah setelah kejadian bencana. Dalam mendukung masyarakat dunia untuk tangguh pada bencana alam, para pemimpin ditingkat dunia, pada tanggal 22 Desember 2005, melalui organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan Resolusi Nomor 60/195 tentang Strategi Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (International Strategy for Disaster Reduction/ISDR). Resolusi itu untuk yang seluruh negara membuat komitmen kuat terhadap Kerangka Aksi Hyogo.

Deklarasi Hyogo lahir dari Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana di Hyogo, Jepang, 18-22 Juni 2005, yang menghasilkan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action 2005-2015) dengan merekomendasikan lima prioritas aksi dalam sebuah kesepakatan bersama: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana.


Pembangunan Masyarakat Tanggap Bencana

Provinsi Aceh, sejak tahun 2009 dibawah pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar menerbitkan aturan tentang pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), dengan dikeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 102 Tahun 2009 tentang Penetapan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencan Aceh. Hadirnya BPBA di Aceh yang khusus menangani bencana alam yang kemudian disusul dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ditingkat kabupaten/kota.

Selanjutnya upaya membangun masyarakat Aceh tangguh bencana juga didukung oleh arah kebijakan pembangunan Provinsi Aceh dalam Rencana Pembangunan Aceh Jangka Menengah (RPJM) Aceh tahun 2012-2017, juga disebutkan tentang pembangunan di bidang bencana dan lingkungan hidup. Dari 10 perioritas pembangunan Aceh dalam RPJM, pembangunan kebencanaan termasuk salah satu didalamnya. BPBA sebagai salah satu dinas yang menangani panggulangan bencana di Aceh, mempunyai peran yang cukup penting dalam upaya-upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Aceh. BPBA tidak hanya bertindak sebagai lembaga dinas pemerintah Aceh �dibawah kendali Gubernur Aceh- yang cuma menangani masa tanggap darurat sewaktu terjadi bencana alam.

Upaya-upaya PRB harus terus dilakukan kepada masyarakat Aceh, untuk bisa terus tanggap dan tangguh dalam kesiapsiagaan jika sewaktu waktu terjadi bencana alam. Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf harus berperan aktif dalam upaya-upaya perhatiannya untuk pengurangan risiko bencana. Beberapa poin penting terkait dengan pembangunan masyarakat Aceh tangguh bencana adalah:

Pertama; Gempabumi dan tsunami Aceh yang pada 26 Desember 2014 nantinya genap 10 tahun harus dijadikan sebagai kajian evaluasi yang mendalam oleh berbagai stakeholder di Aceh dalam upaya pembangunan masyarakat yang tangguh bencana. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang dibentuk April 2005 dan berakhir April 2009 lalu telah melakukan serangkaian kegiatan rehab rekon Aceh-Nias sudah sepatutnya dijadikan pijakan pembangunan Aceh ke depan. BRR telah membawa tatanan perubahan yang begitu besar bagi kehidupan masyarakat Aceh, terlepas dari kekurangan disana sini.

Kedua; tanggal 26 Desember harus dijadikan sebagai Hari Bencana Alam, untuk diperingati oleh masyarakat seluruh Indonesia dan Aceh khususnya. Tetapi sampai kapan, peringatan itu akan dikenang jika Pengurangan Risiko Bencana (PRB) tidak dijalankan oleh semua stakeholder dengan aturan hukum yang telah ada sebagaimana yang telah disebutkan diatas? Provinsi Aceh sebagai daerah rakan bencana perlu terus melakukan upaya upaya PRB berbasis kepentingan masyarakat.

Ketiga; Pembangunan jalur evakuasi, bangunan infrastruktur tempat evakuasi (escape building), pemetaan daerah daerah yang rawan bencana alam, baik itu bencana longsor, gunung api, banjir, peta konjensi tsunami jenis bencana alam lainnya. Evaluasi sewaktu terjadi gempa pada 11 April 2012 lalu dengan kekuatan mencapai 7,8 SR dimana belum berjalannya koordinasi antar pemangku kebijakan dengan baik. Early Warning System (EWS) tidak berbunyi sebagai mana mestinya, evakuasi masyarakat rentan masih belum terkoordinasi dengan baik. Gempa 11 April 2012 lalu memberikan semacam "simulasi evakuasi" dari alam secara langsung yang disutradarai oleh Tuhan.

Keempat; Pelajaran tentang mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana belum sepenuhnya menjadi kesadaran semua pihak untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam memandang bencana alam. Gempabumi tidak dapat diprediksikan terjadi, tetapi risiko jumlah korban dapat dilakukan dalam PRB, bagaimana kesiapsiagaan masyarakat yang jadi ancaman korban mesti dikelola dengan baik, terukur dan terarah.

Kelima; Generasi Aceh ke depan harus lebih banyak mengetahui dan respon terhadap bencana alam. Pendidikan mengenai bencana alam mesti menjadi ilmu wajib bagi semua ummat manusia dari usia dini hingga dewasa. Sudah semestinya dalam kurikulum pendidikan 2014 mulai dimasukkan mata pelajaran khusus bencana alam disemua tingkat sekolah. Ini penting dilakukan mengingat Aceh menjadi daerah yang sangat rentan dan rawan terhadap semua jenis bencana alam dan non-alam.

Pengetahuan bencana alam tidak menjadikan itu sebagai hal yang menakutkan dan dijauhi, masyarakat Aceh harus akrab dan dekat dengan bencana. Ummat manusia memang tidak bisa melawan kodrat alam, tetapi kita bisa mengelolanya dengan baik sebagai warisan untuk generasi bangsa Indonesia kelak nantinya. Upaya pembangunan Aceh dalam bidang kebencanan sebagimana arah RPJM semestinya terus dilakukan untuk mendukung program visi dan misi Gubernur Aceh Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf; Aceh Bermartabat, Sejahtera, Berkeadilan, Dan Mandiri Berlandaskan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) Sebagai Wujud MoU Helshinki.[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis