Cerpen Kompas : Sang Pemahat [Edisi Agustus 2015]

 
Cerpen Kompas : Sang Pemahat Oleh Budi Darma 

Ini dia, sang pemahat terkenal, Jiglong namanya, nama asli dari kedua orangtuanya di desa, bukan nama buatan setelah dia terkenal atau ingin terkenal. Dua gigi depan Jiglong sudah lama rontok, dan tidak pernah diperbaiki. Wajahnya memendam bekas luka-luka lama, yang juga tidak pernah diobati. Cara Jiglong berjalan biasa, tapi kalau diamat-amati akan tampak, dia agak pincang.

Kendati memendam bekas luka-luka lama, wajah Jiglong memberi kesan teduh, damai, dan pasrah. Barang siapa berdekatan dengan dia dan mau berkata dengan jujur, pasti mengaku terus terang bahwa wajah Jiglong memancarkan rasa tenang.

Rumah Jiglong terletak di Ketintang Wiyata, dari depan tampak biasa, tapi begitu seseorang masuk ke dalam rumah akan mengetahui, bahwa bagian belakang rumah itu luas, dan seperti wajah Jiglong sendiri, terasa teduh. Di bagian belakang rumahnya itulah Jiglong bekerja sebagai pemahat. Dia tidak mau gagah-gagahan, tidak mau memasang papan nama sebagai pemahat, tapi, awalnya, dari cerita dari mulut ke mulut, nama dia dikenal di banyak kota di Indonesia, kemudian menyebar ke beberapa negara di luar negeri, apalagi setelah dia mengunggah gambar karya-karyanya melalui internet.

Berapa umur Jiglong tidak ada yang tahu, bahkan Jiglong sendiri pun tidak tahu. Dia lahir dari rahim seorang perempuan desa, buta huruf, dan tidak mempunyai pekerjaan kecuali kalau disewa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Ayahnya, Sowirono namanya, sama dengan istrinya, buta huruf, tidak mempunyai apa-apa.
Kendati tidak tahu umur tepatnya, Jiglong sadar, pada suatu saat dia harus memiliki istri, dan memiliki anak dari darah Jiglong dan istrinya.

Pada suatu malam Jiglong bermimpi, naik sepeda tanpa arah, dan ketika sampai di kawasan Kawatan tidak jauh dari Tugu Pahlawan, tampaklah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Ada pengemis perempuan, buta, duduk di pinggir jalan. Kemudian lewatlah seorang perempuan rupawan, wajahnya memancarkan rasa tenang, mendekati pengemis buta, lalu memberi sedekah berupa uang dalam jumlah besar. Jiglong terbangun, lalu berkata kepada dirinya sendiri, �Mungkin perempuan itulah yang kelak akan menjadi istri saya.�

Jiglong sadar, menolong sesama, apalagi kepada orang-orang duafa, adalah kewajiban hidup sebagaimana telah digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam melalui para Nabi-Nya. Dan Jiglong juga benar-benar tahu, penghasilan dia bukanlah milik dia, tetapi milik Tuhan Seru Sekalian Alam yang dititipkan kepada dia, sementara sebagian dari penghasilan itu wajib diteruskan kepada orang-orang jujur yang memerlukannya. Tidak seperti kebanyakan orang, memberi dengan harapan mendapat pahala setelah nyawanya dicabut oleh Malaikat Maut, Jiglong memberi karena memberi adalah kewajiban.

Jiglong punya beberapa mobil, semuanya mobil untuk bekerja, bukan untuk bermewah-mewah. Tapi, kalau ada waktu senggang Jiglong suka naik sepeda, entah ke mana tidak peduli, semua diserahkan kepada kehendak hati dan kakinya. Kadang-kadang, setelah naik sepeda ke sana kemari, Jiglong duduk tidak jauh dari rel kereta api Surabaya-Yogya di kawasan Ketintang Selatan. Jiglong melamun, kadang-kadang meneteskan air mata. Dulu, ketika masih kecil, oleh saudara angkat dan teman-temannya, Jiglong pernah dilemparkan ke rel kereta api, ketika kereta api sudah benar-benar mendekat.

Kalau teringat peristiwa mengerikan itu, Jiglong tidak sekadar menangisi dirinya sendiri, tapi juga menangisi kedua orangtuanya. Orangtua yang baik hati itu, selalu siap untuk berkorban, tanpa memikirkan pahala. Berbuat baik adalah kewajiban yang digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam, kewajiban yang memang harus dilaksanakan.

Pada suatu hari, ketika sedang iseng membaca koran, dengan mendadak Jiglong terperanjat ketika melihat potret seseorang mirip Jiglong sendiri bersama istrinya. Mereka suami istri, sama-sama ahli bedah jantung terkemuka, tamatan Fakultas Kedokteran Hannover, Jerman, sudah pernah praktek di banyak negara di Eropa, Amerika, dan Kanada. Karena mereka sadar bahwa dokter bedah jantung di Indonesia sangat jarang, mereka merasa berkewajiban untuk pulang ke Indonesia. Nama dokter itu Gerry Dewata Raja, dan istrinya dokter Ruth Anita Dewayani. Jiglong yakin berita mengenai dua dokter ini tidak murni, semacam iklan terselubung.

Sebetulnya malam itu Jiglong mengantuk, tapi karena gelisah, tidak bisa tidur.
Dokter suami istri itu praktek di sebuah rumah besar di Citraland, kawasan mewah dan sepi, bertetangga dengan tiga atau empat rumah saja, masing-masing dijaga satpam. Serangan jantung bisa terjadi setiap saat, tidak peduli jam berapa. Karena itu pasien boleh datang jam berapa pun, dan karena pasiennya banyak, tempat praktek itu tidak pernah sepi. Dua dokter itu menyewa beberapa dokter, perawat, dan pegawai, datang bergiliran, dua puluh empat jam setiap hari. Rasa mengantuk datang merayap-rayap, dan Jiglong pun tertidur, dan bermimpi masa anak-anak di desa dulu. Pada suatu malam, rumah bobrok ayahnya dimasuki dua orang dari Desa Gelambir, memberi tahu bahwa Pak Jalidin, abang kandung ayah Jiglong, meninggal tadi pagi. Istri Pak Jalidin sudah lama meninggal, dan anak satu-satunya, Juntrung namanya, akan telantar kalau tidak ditolong, dan karena itu tidak ada yang merawat Juntrung. Setelah berbisik-bisik beberapa saat kepada ayah Jiglong, dua orang itu minta diri karena mereka mendapat panggilan untuk bekerja di kapal pesiar berbendera Turki.

Malam itu juga Jiglong diajak ayahnya menuju Desa Gelambir, dengan bekal dua batang gula jawa utuh, dan pecahan-pecahan gula jawa yang sorenya rontok di jalan menuju ke pasar. Gula jawa adalah senjata ampuh untuk menahan rasa lapar.

Pagi hari mereka tiba di Desa Gelambir, menuju ke rumah mBok Minem, janda tanpa anak, sambil membawa dua batang gula jawa utuh. Di rumah mBok Minem mereka menemukan Juntrung, anak yang, menurut mBok Minem dan beberapa tetangga, tidak disenangi oleh siapa pun.

Mulai pagi itulah ayah dan ibu Jiglong menganggap Juntrung sebagai anaknya, sebagai saudara Jiglong. Dan mulai saat itulah, ayah dan ibu Jiglong merasakan kesengsaraan karena Juntrung benar-benar kurang ajar, suka berkelahi, berbohong, dan kadang-kadang mencuri. Dan mulai saat itulah, Jiglong sering disakiti dan difitnah oleh Juntrung.
Jiglong menaruh curiga, dokter Gerry Dewata Raja tidak lain adalah Juntrung. Sejak kecil Juntrung memang pandai, dan disegani teman-teman sekolahnya. Hampir semua perintah Juntung dituruti oleh teman-temannya. Mula-mula semua guru menyayangi Juntrung, tapi lama-kelamaan mereka sadar bahwa Juntrung tidak lain adalah anak berbahaya.
Untuk membuktikan kecurigaannya, pada hari Kamis, 13 Agustus 2015, sekitar jam enam senja, Jiglong mendatangi tempat praktek dokter Gerry Dewata Raja, menyamar sebagai pasien. Dari layar di komputernya, penerima tamu melihat kedatangan Jiglong dengan mobil kotornya, dan melihat Jiglong berpakaian sembarangan.

Ketika Jiglong mendekat, penerima tamu berbisik: �Maaf, Bapak, sebaiknya Bapak ke dokter lain saja.�
Senyum, wajah, dan kilat mata Jiglong yang serba teduh justru membuat penerima tamu gugup.
Dengan sabar Jiglong antre, dan begitu dipersilakan masuk oleh perawat, mata Jiglong langsung bertabrakan dengan mata dokter Gerry Dewata Raja. Sama dengan dahulu, mata dokter Gerry Dewata Raja memancarkan sinar yang sangat merendahkan Jiglong.

�Ayah kamu selamanya sok bijaksana, ya. Mengutip kata-kata Nabi, �nasib tidak ditentukan oleh Tuhan, tapi oleh usaha diri sendiri.� Apa ayah kamu mampu mengubah nasibnya, he?�
Jiglong pulang, hatinya terketar-ketar, keringat dingin membasahi tubuhnya.

Setelah tiba di rumah, dengan perasaan tidak jelas Jiglong membongkar setumpukan koran, dan tampaklah koran hari Kamis, tanggal 16 Juli 2015, tepat sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1436 tahun Hijriah. Mata Jiglong tertumbuk pada berita di halaman pertama, �Warna Kulit Berubah Sama Dengan Donor Liver�. Terceritalah, seorang laki-laki bernama Igor Semen Glender dari kota Krasnodar, barat daya Rusia, pernah menderita kanker hati. Lalu dia terbang ke Amerika, ganti hati, donornya seorang kulit hitam keturunan Afrika. Ternyata, kulit Igor makin lama makin hitam, dan wajahnya pun lama-kelamaan berubah, mirip wajah donor. Sumber berita mirror.co.uk/c6/sof.

Jiglong tertidur, dan dalam mimpinya terputarlah pengalaman masa lalu. Kepala Sekolah membeli bekas alat suntik dari seorang tukang rombeng. Karena merangkap sebagai guru Ilmu Kesehatan, Kepala Sekolah merasa tahu bagaimana membuat orang sakit jadi sehat. Dengan disaksikan Wakil Kepala Sekolah, Kepala Sekolah memanggil Juntrung dan Jiglong.

�Juntrung,� kata Kepala Sekolah. �Jiglong adalah saudara kamu. Dia anak baik. Berhati mulia. Kamu anak jahat. Darah kamu busuk.�
Dengan alat suntik bekas, darah Juntrung disedot banyak-banyak, lalu dibuang. Darah Jiglong disedot banyak-banyak, lalu dimasukkan ke tubuh Juntrung.
Lalu dengan nada penuh keyakinan Kepala Sekolah berkata: �Mulai hari ini, Juntrung, kamu akan menjadi anak baik seperti saudara kamu, si Jiglong.�

Selama berminggu-minggu Juntrung dan Jiglong sakit keras. Kepala Sekolah ditangkap polisi, dan keesokan harinya kena serangan jantung, meninggal.
Begitu terbangun dari mimpi, tanpa sadar Jiglong mengambil alat-alatnya, lalu dengan sedu-sedan memahat dua pasang nisan dengan ukiran yang sangat indah. Nisan pertama ditandai �Dokter Gerry Dewata Raja alias Juntrung, meninggal pada hari Jumat pagi, jam 03.17, tanggal 14 Agustus, 2015,� dan nisan kedua mengabarkan, dokter Ruth Anita Dewayani, meninggal pada hari dan tanggal sama, jam 03.45.

Malam itu, Kamis, 13 Agustus, 2015, tanpa alasan yang jelas semua dokter pembantu, perawat, pegawai, dan satpam pulang hanya beberapa saat setelah Jiglong diusir. Mereka merasa udara tiba-tiba menjadi panas, padahal angin bertiup dengan kencang, tidak seperti biasa. Dan, beberapa jam kemudian, Jumat, tanggal 14 Agustus, sekitar jam 03.00 pagi, dua perampok membunuh dua orang dokter itu.

Sumber Koran Kompas Edisi Agustus 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis