Mengenal Rumah Sendiri Dari Mulut Orang Asing
Richard Lloyd Parry adalah jurnalis asal Inggris yang menjadi koresponden Asia untuk The Times London; sebelumnya ia bekerja di The Independent, harian milik Inggris, dan dalam kurun waktu itu ia menulis reportase dari berbagai negara di kawasan benua Asia. Pada 1998 ia melaporkan kejatuhan Suharto, juga tragedi berdarah yang berlangsung menyusul referendum kemerdekaan Timor Timur. Ia juga menulis tentang kanibalisme dan konflik antar-etnis di Kalimantan Barat.
Hasil reportase itu yang terkumpul dalam buku nonfiksi Zaman Edan: Indonesia Di Ambang Kekacauan (Serambi, 2008)-diterjemahkan dengan sangat enak dari versi bahasa Inggris In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos (Vintage, 2005). Buku ini terdiri atas tiga bab utama, masing-masing mengenai kanibalisme dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat pada 1997 dan 1999, demonstrasi mahasiswa dan tragedi Trisakti menyusul jatuhnya Suharto pada 1998, dan kekacauan referendum kemerdekaan Timor Timur pada 1999.
Meskipun ini buku nonfiksi saya sama sekali tidak merasa sedang membaca karya nonfiksi, yang selama ini, setidaknya bagi saya yang belum banyak menghadapi karya nonfiksi, relatif terkesan kering dan membosankan. Zaman Edan ditulis dengan gaya naratif layaknya sebuah karya fiksi, lengkap dengan plot, penokohan, dan deskripsi detail pada hal-hal penting-serta yang paling membuatnya terasa seperti novel, adalah hadirnya perasaan, emosi, dan kadang pandangan personal penulisnya sendiri terhadap apa saja yang ia saksikan.
Tetapi tentu saja, Zaman Edan adalah karya nonfiksi, sebab itu yang ia tunjukkan di dalam narasinya merupakan fakta dan bukan sesuatu yang diimajinasikan. Sekumpulan mayat di tengah hutan dan rumah-rumah terbakar buah konflik antar-etnis di Kalimantan Barat pada 1997 dan 1999 bukanlah peristiwa fiktif yang menjadi fantasi Richard, melainkan benar-benar terjadi, aktual. Begitu pula beberapa mahasiswa yang mati tertembak pada Tragedi Trisakti jelang Suharto turun pada 1998. Begitu pula ketegangan antara kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur di bawah pimpinan Xanana Gusm�o dengan kelompok-kelompok pro-integrasi yang konon didukung jajaran militer Indonesia. Seluruh peristiwa berdarah yang menelan banyak nyawa manusia itu bukan karya fantasi, tetapi faktual.
Fakta yang dituturkan Richard, alih-alih lahir dari serangkaian riset pustaka, lebih seperti laporan pandangan mata dan pengalaman empiris. Ia menyaksikan langsung kepala-kepala terpenggal diletakkan di atas tong-tong kosong dan daun telinga yang telah disayat diambil dari pemiliknya bergelantungan di pinggang sang pembunuh. Ia juga berhadap-hadapan langsung dengan Xanana beserta pejuang Falintil dan tinggal bersama mereka. Apa yang disampaikan Richard melalui narasinya bisa dibilang merupakan laporan orang pertama yang berada di pusat kejadian peristiwa-peristiwa tragis itu.
*
Saya baru berusia delapan tahun ketika Richard berada di Indonesia dan melihat konflik antar-etnis di Kalimantan Barat. Desa tempat tinggal saya, Anjungan, juga disebut sebanyak dua kali di dalam tulisannya pada bab pertama: �Musibah yang Mendekati Aib�, yang merangkum pengalamannya berkunjung ke Singkawang, Salatiga, dan desa-desa di pedalaman yang merupakan tempat kejadian perkara konflik horisontal antar-etnis ketika itu. Saya sendiri hingga hari ini samar-samar mengingat apa yang terjadi di desa saya semasa kecil, pada tahun yang ditulis Richard: suasana sepi, ketegangan yang tidak saya pahami, dan pengungsi di rumah orangtua saya di sebuah kompleks dinas pertanian.
Konflik Dayak-Madura sendiri sebetulnya telah dimulai jauh sebelum Richard datang ke Indonesia. Tidak kurang dari lima puluh tahun yang lalu, membentang hingga awal tahun 2000, setidaknya ada sebelas kali konflik dengan beragam sebab dan hampir seluruhnya menelan korban jiwa. Siapapun bisa mengetahui tentang ini sekarang hanya dengan meramban di Internet. Tetapi perlu rasa ingin tahu yang lebih untuk menelusuri di mana akar permasalahannya-sesuatu yang hingga kini barangkali masih diperdebatkan jikapun masih dibahas.
Richard datang pada puncak konflik itu, dan merekam serta menuliskannya kembali dengan suatu cara yang membuat saya hampir tak mengenal daerah asal saya sendiri. Benarkah peristwa ini betul-betul terjadi di tempat saya? Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Apa sesungguhnya yang kami hadapi ketika saya berusia delapan tahun, berada di dalam rumah dan dilarang ibu bermain di luar? Tulisan Richard, yang saya baca belasan tahun kemudian, saat ini, membuat saya takjub sekaligus mengetahui lebih banyak tentang tragedi yang kala itu tengah berlangsung tak jauh dari tempat kami berada.
*
Ada semacam perasaan aneh yang saya alami ketika membaca reportase naratif Richard di bukunya Zaman Edan. Perasaan itu bukan muncul dari deskripsi visual yang bikin bergidik atas penggalan-penggalan kepala dan mayat korban pembantaian di dalam hutan, bukan pula gambaran situasi penuh ketegangan dari demonstrasi mahasiswa di Jakarta atau aksi mengancam kelompok pro-integrasi di Timor Timur. Perasaan yang saya alami adalah sensasi ganjil yang datang dari ketakjuban aneh saat mengetahui hal-hal di sekitar saya dituturkan oleh orang asing yang tidak saya kenal sama sekali.
Barangkali terlalu ceroboh mengatakan ini-mengingat bahwa saya tidak banyak membaca karya nonfiksi tentang Indonesia dari penulis Indonesia-tetapi saya kira ada secuil kebenaran dalam pernyataan ini: kadang-kadang kita menjadi lebih mengenal negeri sendiri setelah ada orang asing yang bercerita atau menuliskan tentangnya. Seperti opini Michel Houellebecq dalam Lanzarote perihal kecuekan warga asli terhadap potensi wisata wilayah mereka sendiri dan mengeksploitasinya setelah �disadarkan� oleh turis yang memberitahu mereka tentang tempat tinggal mereka.
Saya mengetahui lebih banyak apa yang terjadi di Kalimantan Barat-tempat saya tinggal dan hidup sejak lahir hingga remaja-melalui tulisan reportase naratif Richard, jurnalis asal Inggris yang menaruh perhatian pada konflik di negara-negara benua Asia, bukan melalui orang-orang yang saya kenal dan tinggal di tempat saya tinggal. Saya mengetahui apa yang terjadi di rumah saya dari orang asing, tamu yang berkunjung. Tentu saya tak bermaksud menambah-nambah pandangan ceroboh yang mengatakan bahwa orang asing selalu lebih peduli pada negeri kita ketimbang kita sebagai penghuninya sendiri, karena faktanya tidak demikian, walaupun dalam beberapa situasi bisa jadi benar.
Tetapi saya beruntung bertemu Zaman Edan. Fakta bahwa saya mengetahui dari mulut orang asing mengenai apa yang terjadi di kampung halaman saya sendiri tidak mengurangi sedikitpun antusiasme saya akan informasi yang ia miliki. Saya menikmati membaca Zaman Edan dan seolah-olah berada di sebelah Richard, menyaksikan langsung apa yang ia saksikan-semuanya sebagai hasil dari narasi yang mengalir enak dan deskripsi detail yang mengerikan, tetapi tidak lebih membuat dengkul lemas dan jantung mencelus ketimbang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu secara langsung.
Zaman Edan adalah buku penting, yang menawarkan informasi mengejutkan dan pengalaman membaca yang menyenangkan-sesuatu yang kelak terasa ganjil diucapkan mengingat muatan buku itu penuh dengan peristiwa tragis dalam sejarah manusia, terutama manusia Indonesia. Setelah Sejarah Tuhan � Karen Armstrong, ini adalah buku nonfiksi terbaik yang pernah saya baca. Barangkali akan jadi yang terbaik sepanjang tahun ini. ***
Komentar
Posting Komentar