Hajar Aswad

Cerpen Zaenal Radar T (Media Indonesia, 21 Agustus 2016)
Hajar Aswad ilustrasi Pata Areadi
Hajar Aswad ilustrasi Pata Areadi
PEKERJAAN saya adalah merayu orang-orang yang berada di sekitar Kabah, terutama yang berwajah Asia dan mengerti bahasa Indonesia. Saya menawarkan, apakah mereka sudah mencium Hajar Aswad? Ini saya lakukan terutama kepada jemaah yang sedang sendirian. Jemaah yang sepertinya ingin sekali mencium dan mengelus batu hitam yang letaknya di pojokan bangunan Kabah, tapi mereka tidak sanggup atau belum dapat kesempatan. Tak mudah mendekati Hajar Aswad, apalagi mencium atau sekadar mengelusnya.
Siapa saja yang setuju dengan penawaran saya, dengan gerak refleks dan sejurus kode kepada teman-teman saya, maka kami langsung berupaya menggerakkan orang yang setuju dengan penawaran tadi. Saya dan teman-teman (sekitar empat atau lima orang) sudah hafal di luar kepala, bagaimana caranya agar orang yang meminta bantuan bisa mendekatkan tubuhnya mengarah ke sudut Hajar Aswad, sampai akhirnya dia mampu meraba-raba dan mencium batu hitam itu.
Batu hitam itu terletak di sudut sebelah tenggara Kabah, dan menjadi awal dimulainya tawaf, istilah mengelilingi Kabah dalam prosesi haji. Menurut cerita yang saya dengar dari seorang ustaz di kampung, awalnya bangunan Kabah itu tidak ada tanda penunjuk pintu masuk. Lalu, Nabi Ibrahim meminta putranya, Nabi Ismail, “Pergilah engkau mencari sebuah batu yang akan aku letakkan sebagai penanda bagi manusia.”
Nabi Ismail pergi mencari batu yang sesuai dari satu bukit ke bukit lainnya. Saat itulah datang malaikat Jibril memberikan sebuah batu yang cantik. Nabi Ismail segera membawa batu itu kepada Nabi Ibrahim dan dia gembira melihat batu yang sungguh cantik itu. Beliau menciumnya beberapa kali kemudian Nabi Ibrahim bertanya, “Dari mana kamu dapat batu ini?” Nabi Ismail menjawab, “Batu ini kuterima dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu (Jibril).” Nabi Ibrahim mencium lagi batu itu, diikuti oleh Nabi Ismail. Batu itulah yang bernama Hajar Aswad. Makanya, kata ustaz itu lagi, sampai sekarang Hajar Aswad dicium oleh orang-orang yang pergi ke Baitullah. Siapa saja yang tawaf di Kabah disunahkan mencium Hajar Aswad.
Karena orang-orang yang tawaf tidak pernah berhenti dan tiada pernah sepi, akhirnya tidak bisa dielakkan lagi jika ada orang yang ingin mengusap atau mencium Hajar Aswad dilakukan dengan cara berebutan. Mereka saling desak, bahkan saling sikut-sikutan, dan tak jarang saling dorong. Karena itu, sedikit sekali orang yang bisa mengelusnya, apalagi menciumnya. Maka tugasku membantu orang-orang itu mencium dan mengelus Hajar Aswad, dengan bantuan empat sampai lima teman tadi.
Setelah orang yang kami bantu berhasil mencium Hajar Aswad, maka tugas temanku yang lain meminta sejumlah uang. Ada yang kaget dengan permintaan itu, ada pula yang marah. Bayangkan saja, setelah melakukan apa yang diharapkan dan merasa lega karena sudah mewujudkan keinginan mengelus dan mencium Hajar Aswad, kemudian dia dimintai ongkos sekitar 500 riyal.
Saya sendiri sudah hampir setahun melakukan pekerjaan ini. Jujur saja, sebenarnya semua ini saya lakukan dengan sangat terpaksa. Karena sebenarnya saya datang ke Arab Saudi dengan tujuan bekerja sebagai sopir. Tetapi tiba-tiba saja saya dikejutkan oleh agen yang menerbangkan saya ke tanah Arab bahwa saya dinyatakan sebagai tenaga kerja ilegal. Saya ingin sekali kembali pulang ke Tanah Air, berkumpul bersama keluarga dan bekerja di tanah kelahiran. Tapi ternyata itu tidak mudah. Saya harus mengumpulkan uang lebih dulu untuk mengurus ini-itu.
***
Sudah setahun lebih saya berada di Mekah, main kucing-kucingan dengan para ‘asykar, polisi masjid. Ternyata ada saja satu dua jemaah yang melaporkan kegiatan kami. Kalau sudah begitu, dalam waktu beberapa lama saya tidak merayu-rayu jemaah yang ingin mencium Hajar Aswad. Yang mengakibatkan saya dan teman-teman seprofesi tidak mendapatkan penghasilan.
Tapi hari ini tampaknya hari keberuntungan saya dan tim. Kalau tidak salah hitung, hari ini kami sudah mendapat lima korban. Saya sebut korban karena kelima orang ini mengeluh setelah dimintai ongkos dengan paksa.
“Eh, saya kan enggak minta?” ujar seorang pemuda dengan memelas, yang wajahnya agak sedikit beloon.
“Tapi kamu sudah berhasil mengusap dan menciumnya!”
“Tapi…”
“Kamu enggak usah mengelak, deh! Kami sudah susah payah membantu kamu mencium Hajar Aswad. Dan sekarang, setelah keinginan kamu terwujud, kamu tidak mau bersedekah pada kami.”
Si pemuda beloon itu pun merogoh 500 riyal dan memberikan kepada kami, tentu saja sambil menunjukkan wajah tidak suka.
Namun, ada juga orang yang sudah kami bantu, tetapi saat diminta uang dia mengaku tidak membawa uang.
“Ini rumah Allah, Bapak enggak usah bohong.”
“Demi Allah, Nak… Uang saya simpan di hotel. Masak tawaf bawa bawa uang?”
“Ya sudah, kalau gitu ayo ke hotel Bapak. Tapi ingat, Bapak jangan macam-macam, ya…”
Maka salah satu di antara kami pun mengikuti orang tersebut sampai ke hotel tempat dia menginap, dan berhasil mendapat 300 riyal. Kata teman yang mengikuti sampai ke hotel, Bapak itu tidak lagi punya simpanan uang karena sudah habis dibelanjakan untuk oleh-oleh buat keluarga di Tanah Air.
Saya kasihan juga dengan orang-orang yang menjadi target tim. Pada saat ditawari, apakah sudah mencium Hajar Aswad, mereka dengan lugu mengaku belum. Dan seperti kerbau dicocok hidungnya, para target pun manut saat kami langsung mewujudkan keinginannya. Karena sudah terbiasa dan hafal dengan cara memberikan ruang buat seseorang mencium Hajar Aswad, target pun berhasil mendekat dan mencium Hajar Aswad. Setelah itu wajahnya menjadi berubah terlihat dungu ketika salah satu di antara kami meminta ongkos!
***
Sebenarnya saya sudah tak sanggup lagi melakukan ini. Saya pun sering melamun. Apa yang harus saya lakukan. Tabungan untuk pulang ke Tanah Air belum juga cukup. Saya teringat pada keluarga di Tanah Air. Apa yang akan mereka katakan kalau mereka tahu pekerjaan saya yang sesungguhnya di Arab Saudi.
Di suatu hari yang malang, saya akhirnya bertemu lelaki dengan wajah bersahabat yang saya tawari mencium Hajar Aswad. Lelaki itu dengan senang hati berjalan menyibak keramaian hendak mencium Hajar Aswad, tentu dengan bantuan teman-teman saya seperti biasanya. Tapi tak lama kemudian, bukannya ke arah Hajar Aswad, lelaki itu malah menarik lengan saya ke luar dari kerumunan. Saya berusaha meronta, tetapi teman lelaki itu dengan bantuan beberapa ‘asykar, membawa saya ke luar dari Masjidil Haram.
Saya menangis di depan semua orang yang berhasil menangkap saya. Dengan jujur saya ceritakan kenapa saya melakukan semua itu. Lalu saya diminta menunjukkan di mana saya dan teman-teman tinggal. Saya pun memberi tahu di mana kami menetap. Tetapi ternyata tak ada satu pun teman yang saya temukan. Saya kembali menangis dan bersumpah bahwa saya hanya ikut-ikutan. Saya katakan bahwa saya melakukan ini karena ingin mengumpulkan uang untuk pulang ke Tanah Air.
Barangkali ini memang sudah jalannya. Saya akan dipulangkan ke Tanah Air secara gratis. Sebelum kembali, sambil mengurus surat-surat kepulangan, saya diminta untuk memberitahukan keberadaan teman-teman saya yang biasa merayu-rayu orang untuk mencium Hajar Aswad. Namun hampir dua minggu sejak saya ditahan, saya tidak melihat wajah teman-teman saya.
Tetapi sehari sebelum saya berangkat ke bandara di Jeddah, saya melihat salah satu teman berada di luar Masjidil Haram. Dia langsung berjalan cepat dan menghindar saat melihat saya. Saya yakin teman saya itu, dan teman-teman yang lain, akan kembali melakukan hal serupa di sekitar Kabah, merayu-rayu orang-orang yang ingin mencium Hajar Aswad, yang ujung-ujungnya minta upah.
Tapi biarlah. Itu bukan urusan saya lagi. Saya benar-benar kapok. Saya ingin pulang ke Tanah Air. Setiba di kampung, saya akan bercerita kepada orang-orang yang akan berangkat ke Tanah Suci agar mereka berhati-hati ketika melakukan tawaf. Saya akan berpesan agar mereka menolak apabila ada seseorang berkeinginan membantu mendekatkan dirinya pada Hajar Aswad.
Mengelus dan mencium Hajar Aswad memang dianjurkan, tapi tak perlu memaksakan diri. Saya sendiri, meskipun banyak membantu orang untuk mengelus dan mencium Hajar Aswad, belum pernah merasakannya. Sekali pun! Demi Allah, saya juga ingin sekali mengelus dan mencium Hajar Aswad. Bukan dengan bantuan orang, apalagi harus membayarnya. Saya ingin melakukannya dengan kemampuan sendiri. Tanpa mendesak, menyikut, apalagi mendorong sesama jemaah. Tapi rasanya akan sulit saya lakukan. Karena nama saya sudah dicoret oleh Kedutaan Arab Saudi, untuk tidak kembali lagi mendatangi Tanah Suci. (*)


Zaenal Radar T, cerpenis dan penulis skenario. Menetap di Tangerang Selatan.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id @Cerpen_MI


source :  https://lakonhidup.wordpress.com/2016/08/21/hajar-aswad/#more-7183

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis