Novel: Di Antara Dua Sujud

Membacanovel 400-san halaman garapan Penulis Muda Gorontalo: Muhammad Irata mengajak saya menyusuri labirin kehidupan yang paradoks. Bahwa hitam-putih kehidupan tetap membuka ruang kompromi untuk direnungi, dijajaki lebih dalam, lalu kita perlu bertanya mengapa? Apa yang tampak bukanlah sepenuhnya benar, ruang asumsi, ruang persepsi maupun postulat yang sering dibangun dengan mudah runtuh, lalu kita tersentak betapa, Tuhan benar-benar Maha Pemurah.

Adalah Aslam dan Furqan memulai cerita ini di atas menara Limboto, menyapu bumi Serambi Madinah, menatap Danau Limboto di kejauhan. Terasa ada percakapan serius di antara keduanya. Garang mentari negeri serambi begitu membakar. Lalu, mengalirlah cerita ini apa adanya, dengan adegan-adegan yang terduga, renyah juga manis.
Jujur, menghabiskan seluruh halaman Di Antara Dua Sujud (D2S), seperti saya menjajaki jiwa Ayat-ayat Cinta milik Habiburrahman El-Shirazy. Tak bisa ditampik, Muhammad Irata memang sudah terlampau kagum dengan maestro Fahri itu. Dalam banyak lakon, sepertinya memang novel Di Antara Dua Sujud mencangkok punya Kang Abik. Memindahkan setting dan mengganti tokoh plus karakternya, menggubah konflik lalu menambahkan adegan-adegan lain.
Telah diakui oleh Muhammad Irata, bahwa dalam proses kreatif D2S menggunakan buku-buku Kang Abik sebagai referensi. Bahkan suasana menulis D2S dipenuhi dengan pernak-pernik ala AAC dan Ketika Cinta bertasbih. Sehingga struktur cerita dalam novel ini sepertinya memang mirip. Tapi apakah ini salah?
Setiap penulis tentu punya cara kreatif sendiri. Muhammad Irata dengan karyanya tentu lahir dari pengalaman autentik yang tak bisa diintervensi. Bahwa karya ini: D2S tetap murni melibatkan kemampuan seorang penulis yang berbalut pengalaman. Apa yang disuguhkan dalam keunikan karakter tokoh-tokoh novelnya memaksa pembaca harus benar-benar berpikir. Berpikir tentang: betapa yang tampak selalu tak seperti kenyataan. Kita sering tertipu dengan tampilan-tampilan.
Novel ini unik karena mencoba menyatukan air dengan minyak. Hitam dan  putih dipaksa berbaur pada dua tokoh Furqan dan Nayumi. Latar balakang tokoh yang amat berbeda jauh disatukan dalam sebuah pertemuan berlanjut pada perkenalan yang membuat keduanya saling mencari. Furqan yang ustaz dan Nayumi yang pelakon film porno. Saya bertanya bagaimana mungkin dua tokoh yang timpang ini bisa bersatu dalam adegan yang  dibingkai tema: cerita dakwah. Di sinilah letak cemerlangnya penulis.
Ada Savana dan Aslam, Haura, Angel, dan Maidon, juga jaringan Kotaro pimpinan Yakuza yang terkenal bengis. Dari Gorontalo ke Manado hingga ke Jepang, D2S menyuguhkan kisah yang kompleks. Hanya saja, paparan tentang sekularisme Jepang yang ditampilkan oleh paman Nayumi: Hichiro Nakayama tidak begitu mengakar saat harus berdebat serius dengan Furqan. Saran saya, perlu kajian lebih dalam tentang perihal ini, agar alasan pembanding menolak sekularisme itu memiliki landasan ilmiah yang kokoh.
Pula pendapat subjektif saya, D2S terlalu Manado dibanding harus diklaim sangat Gorontalo. Terbukti bahwa, dari keseluruhan struktur ceritanya, Latar Negeri Nyiur Melambai terlalu banyak dieksploitasi. Harusnya memang latarnya berimbang antara Gorontalo Manado dan Jepang.
Hal lain juga, dialog yang disuguhkan masih kurang menunjukkan khas daerah, misalnya dalam struktur dialog yang menggunakan dialek Manado belum terlalu kental.
Saya juga menemukan beberapa kesalahan kecil, dari beberapa akumulasi kesalahan yang ada, perlu dikoreksi dialog pada halaman 125 yang dituliskan dua kali.
Ni masalah jilbab yang kalian pakai itu. Ukuran jilbab�
***
Secara keseluruhan cerita Di Antara Dua Sujud menuntun saya pada sebuah kesimpulan: sejauh apapun seseorang tersesat, pada kebenaran juga dia akan kembali. (*)
Baca juga:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoyevsky

Nasi Kuning Paling Enak di Gorontalo

Rio Johan: Aku Ingin Melihat Sejauh Mana Aku Bisa Terus Menulis